Inilah Cara Merealisasikan Tauhid


Segala puji hanya untuk Allah. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah .ﷺ

Saudaraku –semoga Allah senantiasa menjaga anda-, anda telah bertanya wacana satu masalah yang agung, suatu masalah yang sungguh gampang untuk diamalkan bagi mereka yang dimudahkan Allah untuk mengamalkannya. Kita memohon kepada Allah supaya memudahkan diri kita dan saudara-saudara kaum muslimin untuk melaksanakan setiap kebaikan.

Ketahuilah, merealisasikan tauhid hanya sanggup terwujud dengan jalan mempraktikkan kandungan dua kalimat syahadat, yaitu persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah semata dan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni utusan Allah.

Mempraktikkan dua kalimat syahadat ini mempunyai dua tingkatan, yaitu tingkatan yang wajib dan tingkatan yang mustahab. Tingkatan yang wajib sanggup terlaksana dengan melaksanakan tiga hal sebagai berikut:

1. Meninggalkan semua bentuk syirik, baik syirik besar (akbar), syirik kecil (asghar), maupun syirik yang tersembunyi (khafiy);
2. Meninggalkan semua bentuk bid’ah; dan
3. Meninggalkan semua jenis kemaksiatan.

Sementara itu, tingkatan yang mustahab yakni tingkatan dimana orang-orang saling berlomba menggapai keutamaan, yaitu bersaing supaya di dalam hati tidak terdapat sedikitpun tujuan dan kebergantungan kepada selain Allah Ta’ala.

Dengan demikian, hatinya berorientasi secara total kepada Allah Ta’ala, tanpa berpaling kepada yang lain. Ucapannya untuk Allah, perbuatan dan ibadahnya untuk Allah. Bahkan segala gerak-gerik hatinya hanya untuk Allah semata. Sebagian ulama menandakan bahwa tingkatan ini dicapai dengan meninggalkan segala sesuatu yang pada asalnya mubah lantaran khawatir sanggup menjerumuskan pada perbuatan dosa atau kerugian di akhirat. Dan hal tersebut meliputi amalan hati, lisan, dan anggota badan.

Seseorang yang ingin merealisasikan kedua tingkatan di atas wajib mempersiapkan:

1. Ilmu. Jika tidak mempunyai ilmu bagaimana mungkin seseorang sanggup merealisasikan tauhid dan mengamalkan sesuatu yang tidak diketahui dan dipahami. Setiap orang yang telah dibebani syari’at wajib mempelajari tauhid sehingga sanggup memperbaiki keyakinan, perkataan, dan perbuatannya. Selain hal tersebut, maka mengilmuinya sekedar dianjurkan;

2. Membenarkan dan meyakini dengan besar lengan berkuasa terhadap segala isu dan informasi yang berasal dari Allah dan Nabi-Nya shallallahu ‘alayhi wa sallam;

3. Tunduk dan taat terhadap ketentuan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alayhi wa sallam dengan cara melaksanakan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya.

Semakin banyak orang dalam merealisasikan perkara-perkara di atas, maka semakin besar lengan berkuasa pula tauhidnya kepada Allah dan semakin besar pahala yang akan dia peroleh. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam telah menjelaskan kepada kita bahwa barangsiapa yang bisa merealisasikan derajat tauhid yang paling tinggi, maka dia akan digolongkan bersama 70.000 orang yang masuk nirwana tanpa hisab. Kita memohon keutamaan dari Allah Ta’ala.

Balasan Bagi Mereka yang Merealisasikan Tauhid
Diriwayatkan di dalam shahih Bukhari (5705) dan Muslim (220), dari Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma– mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُمَمُ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرُّهَيْطُ وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلَانِ وَالنَّبِيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ إِذْ رُفِعَ لِي سَوَادٌ عَظِيمٌ فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِي فَقِيلَ لِي هَذَا مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَوْمُهُ وَلَكِنْ انْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِي انْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ الْآخَرِ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِي هَذِهِ أُمَّتُكَ وَمَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ ثُمَّ نَهَضَ فَدَخَلَ مَنْزِلَهُ فَخَاضَ النَّاسُ فِي أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ فَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمْ الَّذِينَ صَحِبُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمْ الَّذِينَ وُلِدُوا فِي الْإِسْلَامِ وَلَمْ يُشْرِكُوا بِاللَّهِ وَذَكَرُوا أَشْيَاءَ فَخَرَجَ عَلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا الَّذِي تَخُوضُونَ فِيهِ فَأَخْبَرُوهُ فَقَالَ هُمْ الَّذِينَ وَلَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ ولا يكتوون وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ فَقَامَ عُكَّاشَةُ بْنُ مِحْصَنٍ فَقَالَ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ أَنْتَ مِنْهُمْ ثُمَّ قَامَ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ سَبَقَكَ بِهَا عُكَّاشَةُ

Telah diperlihatkan kepadaku beberapa umat, kemudian saya melihat seorang Nabi, sekelompok orang menjadi pengikutnya, dan seorang Nabi, hanya satu dan dua orang yang menjadi pengikutnya, dan Nabi yang lain lagi tanpa ada seorangpun menjadi pengikutnya. Tiba-tiba diperlihatkan kepadaku sekelompok orang yang banyak jumlahnya, saya mengira bahwa mereka itu umatku, tetapi dikatakan kepadaku  bahwa mereka itu yakni Musa dan kaumnya.

Tiba-tiba saya melihat lagi sekelompok orang yang lain yang jumlahnya sangat besar, maka dikatakan kepadaku, ‘mereka itu yakni umatmu, dan bersama mereka ada 70.000 (tujuh puluh ribu) orang  yang masuk nirwana tanpa hisab dan tanpa adzab -disiksa terlebih dahulu.’

Kemudian dia bangun dan masuk ke dalam rumahnya. Sedangkan, orang-orang pun memperbincangkan wacana siapakah mereka itu yang masuk nirwana tanpa hisab dan tanpa adzab?, Di antara mereka ada yang berkata, ‘barangkali mereka itu orang orang yang telah menyertai Nabi dalam hidupnya,’ dan ada lagi yang berkata, ‘barangkali mereka itu orang orang yang dilahirkan dalam keadaan Islam dan tidak pernah menyekutukan Allah dengan sesuatupun, dan yang lainnya menyebutkan spekulasi yang lain.’

Kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam keluar dan mereka pun memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Maka dia shallallahu’alaihi wa sallam pun bersabda, ‘Mereka itu yakni orang-orang yang tidak pernah minta ruqyah, tidak melaksanakan tathayyur, dan tidak pernah meminta di-kay ( teknik pengobatan dengan mempelkan besi yang dipanaskan pada daerah luka), dan mereka pun bertawakkal kepada Rabb mereka.’

Kemudian Ukasyah bin Muhshan berdiri dan berkata, ‘Mohonkanlah kepada Allah  supaya saya termasuk golongan mereka,’ Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, ‘Ya, engkau termasuk golongan mereka,’

Kemudian seseorang yang lain berdiri juga dan berkata, ‘Mohonkanlah kepada Allah  supaya saya juga termasuk golongan mereka, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda menjawab, ‘Ukasyah telah mendahuluimu’.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “لَا يَسْتَرْقُونَ” artinya yakni tidak meminta orang lain untuk meruqyah dirinya. Meskipun, meminta untuk diruqyah aturan asalnya yakni jaiz (boleh), tetapi meninggalkannya lebih utama.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “وَلَا يَتَطَيَّرُونَ “ artinya yakni tidak menganggap sial sesuatu dengan alasannya yakni burung atau dengan alasannya yakni lainnya, yang balasannya seseorang membatalkan acara yang dia rencanakan disebabkan anggapan sial ini. Anggapan sial semacam ini yakni haram lantaran termasuk syirik asghar.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “وَلَا يَكْتَوُونَ ” artinya yakni menghindari meminta di-kay (pengobatan dengan cara menempelkan besi panas pada luka dengan tujuan supaya darah yang keluar dari luka cepat mengering dan berhenti) untuk menyembuhkan penyakit. Meskipun terdapat manfaat pada kay, Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam membencinya lantaran tidak ada yang boleh menyiksa dengan api kecuali Allah Ta’ala.

Karakteristik yang sama-sama terdapat dari ketiga perbuatan di atas yakni pelakunya bertawakkal kepada Rabb mereka semata, yakni mereka mengaktualisasikan tawakkal pada derajat yang paling tepat dan paling tinggi. Tidak ditemukan sedikitpun keberpalingan bahkan kebergantungan pada alasannya yakni di dalam hati mereka, akan tetapi mereka bergantung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.

Tawakkal yakni inti keimanan sebagaimana yang dikatakan oleh Sa’id bin Habib rahimahullah. Bahkan tawakkal yakni tujuan yang paling tinggi sebagaimana yang dituturkan oleh Wahab bin Munabbih rahimahullah.

Kesimpulan dari klarifikasi di atas yakni tauhid tidaklah terlaksana dengan berangan-angan, berkhayal, atau sekedar klaim tanpa bukti. Tauhid hanya sanggup terlaksana dengan keyakinan dan ihsan yang terpatri dalam hati, dan diwujudkan dalam susila yang baik dan amal shalih. Dengan demikian, setiap muslim berkewajiban untuk bersegera melaksanakan kebaikan dan ketaatan, berpacu dengan jatah umur yang tersisa. Selain itu, mereka juga wajib menganggap ringan kesulitan yang ditemui dan memandang derita yang dialami sebagai sebuah kelezatan lantaran pada hakikatnya barang dagangan Allah teramat mahal, mahal lantaran surga-lah yang dijadikan Allah sebagai komoditas dagangnya. []




Di sadur dari pemikiran https://islamqa.info/ar/96083
Penerjemah oleh : Bagas Prasetya Fazri
Artikel Muslim.or.id
Sumber https://iberdakwah.blogspot.com/

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel