Ini Kiat Semoga Hati Tetap Istiqomah (Bagian 1)
Seorang sahabat kami tercinta, dulunya ialah orang yang menuntun kami untuk mengenal fatwa islam yang haq (yang benar). Awalnya, ia begitu gigih menjalankan fatwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pun selalu menawarkan wejangan dan menawarkan beberapa bacaan perihal Islam kepada kami. Namun beberapa tahun kemudian, kami melihatnya begitu berubah. Ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya ialah suatu yang wajib bagi seorang pria, lambat laun menjadi pudar dari dirinya. Ajaran tersebut tertanggal satu demi satu. Dan sehabis lepas dari dunia kampus, kabarnya pun sudah semakin tidak jelas. Kami hanya berdo’a semoga sahabat kami ini diberi petunjuk oleh Allah.
Berlatar belakang inilah, kami menyusun risalah ini. Dengan tujuan biar kaum muslimin yang telah mengenal agama Islam yang hanif ini dan telah mengenal lebih mendalam fatwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sanggup mengetahui bagaimanakah kiat biar tetap istiqomah dalam beragama, mengikuti fatwa Nabi dan biar sanggup tegar dalam beramal. Semoga bermanfaat.
Keutamaan Orang yang Bisa Terus Istiqomah
Yang dimaksud istiqomah ialah menempuh jalan (agama) yang lurus (benar) dengan tidak berpaling ke kiri maupun ke kanan. Istiqomah ini meliputi pelaksanaan semua bentuk ketaatan (kepada Allah) lahir dan batin, dan meninggalkan semua bentuk larangan-Nya. [Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 246, Darul Muayyid, cetakan pertama, tahun 1424 H] Inilah pengertian istiqomah yang disebutkan oleh Ibnu Rajab Al Hambali.
Di antara ayat yang menyebutkan keutamaan istiqomah ialah firman Allah Ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqomah pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kau merasa takut dan janganlah kau merasa sedih; dan bergembiralah kau dengan (memperoleh) nirwana yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.” (QS. Fushilat: 30)
Yang dimaksud dengan istiqomah di sini terdapat tiga pendapat di kalangan mahir tafsir:
[1] Istiqomah di atas tauhid, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakr Ash Shidiq dan Mujahid,
[2] Istiqomah dalam ketaatan dan menunaikan kewajiban Allah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Al Hasan dan Qotadah,
[3] Istiqomah di atas nrimo dan dalam berinfak sampai ajal menjemput, sebagaimana dikatakan oleh Abul ‘Aliyah dan As Sudi. [Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 5/304, Mawqi’ At Tafasir] Dan sebenarnya istiqomah sanggup meliputi tiga tafsiran ini lantaran semuanya tidak saling bertentangan.
Ayat di atas menceritakan bahwa orang yang istiqomah dan teguh di atas tauhid dan ketaatan, maka malaikat pun akan memberi kabar bangga padanya dikala ajal menjemput [Ini pendapat Mujahid, As Sudi dan Zaid bin Aslam. Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 7/177, Dar Thoyyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H] “Janganlah takut dan janganlah bersedih”.
Mujahid, ‘Ikrimah, dan Zaid bin Aslam menafsirkan ayat tersebut: “Janganlah takut pada alam abadi yang akan kalian hadapi dan janganlah bersedih dengan dunia yang kalian tinggalkan yaitu anak, keluarga, harta dan tanggungan utang. Karena para malaikat nanti yang akan mengurusnya.” Begitu pula mereka diberi kabar bangga berupa nirwana yang dijanjikan. Dia akan mendapat banyak sekali macam kebaikan dan terlepas dari banyak sekali macam kejelekan. [Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7/177]
Zaid bin Aslam menyampaikan bahwa kabar bangga di sini bukan hanya dikatakan dikala ajal menjemput, namun juga dikala di alam kubur dan dikala hari berbangkit. Inilah yang memperlihatkan keutamaan seseorang yang sanggup istiqomah.
Al Hasan Al Bashri dikala membaca ayat di atas, ia pun berdo’a, “Allahumma anta robbuna, farzuqnal istiqomah (Ya Allah, Engkau ialah Rabb kami. Berikanlah keistiqomahan pada kami).” [Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 245]
Yang serupa dengan ayat di atas ialah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ, أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka infinit di dalamnya; sebagai tanggapan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Ahqaf: 13-14).
Dari Abu ‘Amr atau Abu ‘Amrah Sufyan bin Abdillah, dia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِى فِى الإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ – وَفِى حَدِيثِ أَبِى أُسَامَةَ غَيْرَكَ – قَالَ « قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ ».
“Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ajarkanlah kepadaku dalam (agama) islam ini ucapan (yang meliputi semua perkara islam sehingga) saya tidak (perlu lagi) bertanya perihal hal itu kepada orang lain setelahmu [dalam hadits Abu Usamah dikatakan, “selain engkau”]. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Katakanlah: “Aku beriman kepada Allah“, kemudian beristiqamahlah dalam ucapan itu.” [HR. Muslim no. 38] Ibnu Rajab mengatakan, “Wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sudah meliputi wasiat dalam agama ini seluruhnya.” [Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 246]
Pasti Ada Kekurangan dalam Istiqomah
Ketika kita ingin berjalan di jalan yang lurus dan memenuhi tuntutan istiqomah, terkadang kita tergelincir dan tidak sanggup istiqomah secara utuh. Lantas apa yang sanggup menutupi kekurangan ini? Jawabnnya ialah pada firman Allah Ta’ala,
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ
“Katakanlah: “Bahwasanya saya hanyalah seorang insan ibarat kamu, diwahyukan kepadaku bekerjsama Rabbmu ialah Rabb Yang Maha Esa, maka tetaplah istiqomah pada jalan yan lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya.” (QS. Fushilat: 6). Ayat ini memerintahkan untuk istiqomah sekaligus beristigfar (memohon ampun pada Allah).
Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Ayat di atas “Istiqomahlah dan mintalah ampun kepada-Nya” merupakan instruksi bahwa seringkali ada kekurangan dalam istiqomah yang diperintahkan. Yang menutupi kekurangan ini ialah istighfar (memohon ampunan Allah). Istighfar itu sendiri mengandung taubat dan istiqomah (di jalan yang lurus).” [Idem]
Kiat Agar Tetap Istiqomah
Ada beberapa alasannya utama yang sanggup menciptakan seseorang tetap teguh dalam keimanan.
Pertama: Memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat dengan baik dan benar.
Allah Ta’ala berfirman,
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang lalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27)
Tafsiran ayat “Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh …” dijelaskan dalam hadits berikut.
الْمُسْلِمُ إِذَا سُئِلَ فِى الْقَبْرِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، فَذَلِكَ قَوْلُهُ ( يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِى الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِى الآخِرَةِ )
“Jika seorang muslim ditanya di dalam kubur, kemudian ia berikrar bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad ialah utusan Allah, maka inilah tafsir ayat: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat”.” [HR. Bukhari no. 4699 dan Muslim no. 2871, dari Al Barro’ bin ‘Azib]
Qotadah As Sadusi mengatakan, “Yang dimaksud Allah meneguhkan orang beriman di dunia ialah dengan meneguhkan mereka dalam kebaikan dan amalan sholih. Sedangkan di akhirat, mereka akan diteguhkan di kubur (ketika menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir, pen).” Perkataan semacam Qotadah diriwayatkan dari ulama salaf lainnya. [Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4/502]
Mengapa Allah sanggup teguhkan orang beriman di dunia dengan terus berinfak sholih dan di alam abadi (alam kubur) dengan dimudahkan menjawab pertanyaan malaikat “Siapa Rabbmu, siapa Nabimu dan apa agamamu”? Jawabannya ialah lantaran pemahaman dan pengamalannya yang baik dan benar terhadap dua kalimat syahadat. Dia tentu memahami makna dua kalimat syahadat dengan benar. Memenuhi rukun dan syaratnya. Serta dia pula tidak menerjang larangan Allah berupa menyekutukan-Nya dengan selain-Nya, yaitu berbuat syirik.
Oleh lantaran itu, kiat pertama ini menuntunkan seseorang biar sanggup beragama dengan baik yaitu mengikuti jalan hidup salaful ummah yaitu jalan hidup para sahabat yang merupakan generasi terbaik dari umat ini. Dengan menempuh jalan tersebut, ia akan sibuk berguru agama untuk memperbaiki aqidahnya, mendalami tauhid dan juga menguasai kesyirikan yang sangat keras Allah larang sehingga harus dijauhi. Oleh lantaran itu, jalan yang ia tempuh ialah jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam beragama yang merupakan golongan yang selamat yang akan senantiasa mendapat dukungan Allah.
Kedua: Mengkaji Al Qur’an dengan menghayati dan merenungkannya.
Allah menceritakan bahwa Al Qur’an sanggup meneguhkan hati orang-orang beriman dan Al Qur’an ialah petunjuk kepada jalan yang lurus. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) [Malaikat Jibril disebut ruhul qudus oleh Allah biar dia tersucikan dari segala macam ‘aib, sifat khianat, dan kekeliruan (Lihat Taisir Al Karimir Rohman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 449, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H). Sehingga dilarang dikatakan bahwa Jibril memanipulasi ayat atau menyatakan bahwa Al Qur’an ialah perkataan Jibril dan bukan dari Allah. Ini sungguh telah menyatakan Jibril khianat dalam memberikan wahyu dari Allah. Wallahul muwaffiq] menurunkan Al Qur’an itu dari Rabbmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar bangga bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.” (QS. An Nahl: 102)
Oleh lantaran itu, Al Qur’an itu diturunkan secara beangsur-angsur untuk meneguhkan hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana terdapat dalam ayat,
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلا
“Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al Furqon: 32)
Al Qur’an ialah jalan utama biar seseorang sanggup terus kokoh dalam agamanya. [Lihat Wasa-il Ats Tsabat, Syaikh Sholih Al Munajjid, hal. 2-3, Asy Syamilah] Alasannya, lantaran Al Qur’an ialah petunjuk dan obat bagi hati yang sedang ragu. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ
“Al Qur’an itu ialah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Fushilat: 44). Qotadah mengatakan, “Allah telah menghiasi Al Qur’an sebagai cahaya dan keberkahan serta sebagai obat penawar bagi orang-orang beriman.” [Lihat Jaami’ul Bayan fii Ta’wilil Qur’an, Ibnu Jarir Ath Thobari, 21/438, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H] Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut, “Katakanlah wahai Muhammad, Al Qur’an ialah petunjuk bagi hati orang beriman dan obat penawar bagi hati dari banyak sekali keraguan.” [Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7/184]
Oleh lantaran itu, kita akan saksikan keadaan yang sangat berbeda antara orang yang gemar mengkaji Al Qur’an dan merenungkannya dengan orang yang hanya menyibukkan diri dengan perkataan filosof dan insan lainnya. Orang yang ulet merenungkan Al Qur’an dan memahaminya, tentu akan lebih kokoh dan teguh dalam agama ini. Inilah kiat yang mesti kita jalani biar kita sanggup terus istiqomah.
Ketiga: Iltizam (konsekuen) dalam menjalankan syari’at Allah
Maksudnya di sini ialah seseorang dituntunkan untuk konsekuen dalam menjalankan syari’at atau dalam berinfak dan tidak putus di tengah jalan. Karena konsekuen dalam berinfak lebih dicintai oleh Allah daripada amalan yang sesekali saja dilakukan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ’Aisyah –radhiyallahu ’anha-, dia menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala ialah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun dikala melaksanakan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [HR. Muslim no. 783, Kitab shalat para musafir dan qasharnya, Bab Keutamaan amalan shalat malam yang kontinu dan amalan lainnya]
An Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Ketahuilah bahwa amalan yang sedikit namun konsekuen dilakukan, itu lebih baik dari amalan yang banyak namun cuma sesekali saja dilakukan. Ingatlah bahwa amalan sedikit yang rutin dilakukan akan melanggengkan amalan ketaatan, dzikir, pendekatan diri pada Allah, niat dan keikhlasan dalam beramal, juga akan menciptakan amalan tersebut diterima oleh Sang Kholiq Subhanahu wa Ta’ala. Amalan sedikit namun konsekuen dilakukan akan menawarkan ganjaran yang besar dan berlipat dibandingkan dengan amalan yang sedikit namun sesekali saja dilakukan.” [Syarh Muslim, An Nawawi, 6/71, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, tahun 1392 H]
Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, ”Amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ialah amalan yang konsekuen dilakukan (kontinu). Beliau pun melarang memutuskan amalan dan meninggalkannya begitu saja. Sebagaimana dia pernah melarang melaksanakan hal ini pada sahabat ’Abdullah bin ’Umar.” [Fathul Baari lii Ibni Rajab, 1/84, Asy Syamilah] Yaitu Ibnu ’Umar dicela lantaran meninggalkan amalan shalat malam.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya,
يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ
”Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau ibarat si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun kini dia tidak mengerjakannya lagi.” [HR. Bukhari no. 1152]
Selain amalan yang kontinu dicintai oleh Allah, amalan tersebut juga sanggup mencegah masuknya virus ”futur” (jenuh untuk beramal). Jika seseorang berinfak sesekali namun banyak, kadang akan muncul rasa malas dan jenuh. Sebaliknya jikalau seseorang berinfak sedikit namun ajeg (terus menerus), maka rasa malas pun akan hilang dan rasa semangat untuk berinfak akan selalu ada. Itulah mengapa kita dianjurkan untuk berinfak yang penting kontinu walaupun jumlahnya sedikit.
Bersambung.. Ini Kiat Agar Hati Tetap Istiqomah (Bagian 2— Selesai)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id, dipublish ulang oleh https://rumaysho.com Sumber https://iberdakwah.blogspot.com/