Amalan Lebih Baik Kontinu Walaupun Sedikit


Pada kesempatan kali ini, kami akan mengangkat pembahasan yang cukup menarik yaitu bagaimana seharusnya kita beramal. Apakah amalan kita haruslah banyak? Ataukah lebih baik amalan kita itu rutin walaupun sedikit? Itulah yang akan kami ketengahkan ke hadapan pembaca pada goresan pena yang sederhana ini. Hanya Allah yang senantiasa memberi segala kemudahan.

Rajin Ibadah Janganlah Sesaat

Related

Wahai saudaraku … Perlu diketahui bahwa ibadah tidak semestinya dilakukan hanya sesaat di suatu waktu. Seperti ini bukanlah sikap yang baik. Para ulama pun hingga mengeluarkan kata-kata pedas terhadap orang yang rajin shalat –misalnya- hanya pada bulan Ramadhan saja. Sedangkan pada bulan-bulan lainnya amalan tersebut ditinggalkan. Para ulama kadang mengatakan,  “Sejelek-jelek orang ialah yang hanya rajin ibadah di bulan Ramadhan saja. Sesungguhnya orang yang sholih ialah orang yang rajin ibadah dan rajin shalat malam sepanjang tahun”. Ibadah bukan hanya dilakukan pada bulan Ramadhan, Rajab atau Sya’ban saja. Sebaik-baik ibadah ialah yang dilakukan sepanjang tahun.

Asy Syibliy pernah ditanya, ”Bulan manakah yang lebih utama, Rajab ataukah Sya’ban?” Beliau pun menjawab, ”Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Sya’baniyyin.” Maksudnya ialah jadilah hamba Rabbaniy yang rajin ibadah di setiap bulan, sepanjang tahun dan jangan hanya beribadah pada bulan Sya’ban saja. Kami kami juga sanggup mengatakan, ”Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Romadhoniyyin.” Maksudnya, beribadahlah secara kontinu (ajeg) sepanjang tahun dan jangan hanya beribadah pada bulan Ramadhan saja. [Lihat Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 396-400, Daar Ibnu Katsir, cetakan kelima, 1420 H [Tahqiq: Yasin Muhammad As Sawaas]]

Begitu pula amalan suri tauladan kita –Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam- ialah amalan yang rutin dan bukan musiman pada waktu atau bulan tertentu. Itulah yang dia contohkan kepada kita. ’Alqomah pernah bertanya pada Ummul Mukminin ’Aisyah mengenai amalan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, ”Apakah dia mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?” ’Aisyah menjawab,

لاَ. كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً

”Beliau tidak mengkhususkan waktu tertentu untuk beramal. Amalan dia ialah amalan yang kontinu (ajeg).” [HR. Bukhari no. 1987 dan Muslim no. 783]

Tanda Diterimanya Suatu Amalan

Saudaraku … Perlulah engkau ketahui bahwa tanda diterimanya suatu amalan ialah apabila amalan tersebut membuahkan amalan ketaatan berikutnya. Di antara bentuknya ialah apabila amalan tersebut dilakukan secara kontinu (rutin). Sebaliknya tanda tertolaknya suatu amalan (alias tidak diterima), apabila amalan tersebut malah membuahkan kejelekan sehabis itu. Cobalah kita simak ungkapan para ulama yang mendalam ilmunya mengenai hal ini.

Sebagian ulama salaf mengatakan,

مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا، وَمِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا

“Di antara jawaban kebaikan ialah kebaikan selanjutnya dan di antara jawaban kejelekan ialah kejelekan selanjutnya.” [Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 8/417, Daar Thoyyibah, cetakan kedua, 1420 H [Tafsir Surat Al Lail]]

Ibnu Rajab menjelaskan hal di atas dengan membawakan perkataan salaf lainnya, ”Balasan dari amalan kebaikan ialah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan kemudian melanjutkan dengan kebaikan lainnya, maka itu ialah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula barangsiapa yang melaksanakan kebaikan, namun malah dilanjutkan dengan amalan kejelekan, maka ini ialah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.” [Latho-if Al Ma’arif, hal. 394]

Pentingnya Beramal Kontinu (Rutin), Walaupun Sedikit

Di antara keunggulan suatu amalan dari amalan lainnya ialah amalan yang rutin (kontinu) dilakukan. Amalan yang kontinu –walaupun sedikit- itu akan mengungguli amalan yang tidak rutin –meskipun jumlahnya banyak-. Amalan inilah yang lebih dicintai oleh Allah Ta’ala. Di antara dasar dari hal ini ialah dalil-dalil berikut.

Dari ’Aisyah –radhiyallahu ’anha-, dia menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala ialah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melaksanakan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [HR. Muslim no. 783, Kitab shalat para musafir dan qasharnya, Bab Keutamaan amalan shalat malam yang kontinu dan amalan lainnya]

Dari ’Aisyah, dia menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah. Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam menjawab,

أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ

”Amalan yang rutin (kontinu), walaupun sedikit.” [HR. Muslim no. 782]

’Alqomah pernah bertanya pada Ummul Mukminin ’Aisyah, ”Wahai Ummul Mukminin, bagaimanakah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam beramal? Apakah dia mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?” ’Aisyah menjawab,

لاَ. كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً وَأَيُّكُمْ يَسْتَطِيعُ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَطِيعُ

”Tidak. Amalan dia ialah amalan yang kontinu (rutin dilakukan). Siapa saja di antara kalian pasti bisa melaksanakan yang dia shallallahu ’alaihi wa sallam lakukan.” [HR. Muslim no. 783]

Di antaranya lagi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam contohkan dalam amalan shalat malam. Pada amalan yang satu ini, dia menganjurkan biar mencoba untuk merutinkannya. Dari ’Aisyah, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنَ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ

”Wahai sekalian manusia, lakukanlah amalan sesuai dengan kemampuan kalian. Karena Allah tidaklah bosan hingga kalian merasa bosan. (Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah ialah amalan yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit.” [HR. Muslim no. 782]

Keterangan Ulama Mengenai Amalan yang Kontinu

Mengenai hadits-hadits yang kami kemukakan di atas telah dijelaskan maksudnya oleh jago ilmu sebagai berikut.

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, ”Yang dimaksud dengan hadits tersebut ialah biar kita bisa pertengahan dalam melaksanakan amalan dan berusaha melaksanakan suatu amalan sesuai dengan kemampuan. Karena amalan yang paling dicintai oleh Allah ialah amalan yang rutin dilakukan walaupun itu sedikit.”

Beliau pun menjelaskan, ”Amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ialah amalan yang terus menerus dilakukan (kontinu). Beliau pun melarang memutuskan amalan dan meninggalkannya begitu saja. Sebagaimana dia pernah melarang melaksanakan hal ini pada sobat ’Abdullah bin ’Umar.” [Fathul Baari lii Ibni Rajab, 1/84, Asy Syamilah] Yaitu Ibnu ’Umar dicela lantaran meninggalkan amalan shalat malam.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku,

يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ

“Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau menyerupai si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun kini dia tidak mengerjakannya lagi.” [HR. Bukhari no. 1152]

Para salaf pun mencontohkan dalam berinfak biar bisa dikontinukan.

Al Qosim bin Muhammad menyampaikan bahwa ’Aisyah ketika melaksanakan suatu amalan, dia selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [HR. Muslim no. 783, Kitab shalat para musafir dan qasharnya, Bab Keutamaan amalan shalat malam yang kontinu dan amalan lainnya]

Al Hasan Al Bashri  mengatakan, ”Wahai kaum muslimin, rutinlah dalam beramal, rutinlah dalam beramal. Ingatlah! Allah tidaklah mengakibatkan final dari seseorang berinfak selain kematiannya.”

Beliau rahimahullah juga mengatakan, ”Jika syaithon melihatmu kontinu dalam melaksanakan amalan ketaatan, dia pun akan menjauhimu. Namun kalau syaithon melihatmu berinfak kemudian engkau meninggalkannya sehabis itu, malah melakukannya sesekali saja, maka syaithon pun akan semakin tamak untuk menggodamu.” [Al Mahjah fii Sayrid Duljah, Ibnu Rajab, hal. 71. Dinukil dari Tajriidul Ittiba’ fii Bayaani Asbaabi Tafadhulil A’mal, Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhailiy, hal. 86, Daar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, 1428 H.]

Maka dari klarifikasi ini memperlihatkan dianjurkannya merutinkan amalan yang biasa dilakukan, jangan  hingga ditinggalkan begitu saja dan memperlihatkan pula dilarangnya memutuskan suatu amalan meskipun itu amalan yang hukumnya sunnah.

Hikmah Mengapa Mesti Merutinkan Amalan

Pertama, melaksanakan amalan yang sedikit namun kontinu akan menciptakan amalan tersebut langgeng, artinya akan terus tetap ada.

An Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Ketahuilah bahwa amalan yang sedikit namun rutin dilakukan, itu lebih baik dari amalan yang banyak namun cuma sesekali saja dilakukan. Ingatlah bahwa amalan sedikit yang rutin dilakukan akan melanggengkan amalan ketaatan, dzikir, pendekatan diri pada Allah, niat dan keikhlasan dalam beramal, juga akan menciptakan amalan tersebut diterima oleh Sang Kholiq Subhanahu wa Ta’ala. Amalan sedikit yang rutin dilakukan akan memperlihatkan ganjaran yang besar dan berlipat dibandingkan dengan amalan yang sedikit namun sesekali saja dilakukan.” [Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 3/133, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah]

Kedua, amalan yang kontinu akan terus menerima pahala. Berbeda dengan amalan yang dilakukan sesekali saja –meskipun jumlahnya banyak-, maka ganjarannya akan terhenti pada waktu dia beramal. Bayangkan kalau amalan tersebut dilakukan terus menerus, maka pahalanya akan terus ada walaupun amalan yang dilakukan sedikit.

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, ”Sesungguhnya seorang hamba hanyalah akan diberi jawaban sesuai amalan yang ia lakukan. Barangsiapa meninggalkan suatu amalan -bukan lantaran udzur syar’i menyerupai sakit, bersafar, atau dalam keadaan lemah di usia senja-, maka akan terputus darinya pahala dan ganjaran kalau ia meninggalkan amalan tersebut.” [Lihat Fathul Baari lii Ibni Rajab, 1/84] Namun perlu diketahui bahwa apabila seseorang meninggalkan amalan sholih yang biasa dia rutinkan lantaran alasan sakit, sudah tidak bisa lagi melakukannya, dalam keadaan bersafar atau udzur syar’i lainnya, maka dia akan tetap memperoleh ganjarannya. Hal ini menurut sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

“Jika seseorang sakit atau melaksanakan safar, maka dia akan dicatat melaksanakan amalan sebagaimana amalan rutin yang dia lakukan ketika mukim (tidak bepergian) dan dalam keadaan sehat.” [HR. Bukhari no. 2996]

Ketiga, amalan yang sedikit tetapi kontinu akan mencegah masuknya virus ”futur” (jenuh untuk beramal). Jika seseorang berinfak sesekali namun banyak, kadang akan muncul rasa malas dan jenuh. Sebaliknya kalau seseorang berinfak sedikit namun ajeg (terus menerus), maka rasa malas pun akan hilang dan rasa semangat untuk berinfak akan selalu ada. Itulah mengapa kita dianjurkan untuk berinfak yang penting kontinu walaupun jumlahnya sedikit. Kadang kita memang mengalami masa semangat dan kadang pula futur (malas) beramal. Sehingga biar amalan kita terus menerus ada pada masa-masa tersebut, maka dianjurkanlah kita berinfak yang rutin walaupun itu sedikit.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

وَلِكُلِّ عَمِلٍ شِرَّةٌ ، وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ ، فَمَنْ يَكُنْ فَتْرَتُهُ إِلَى السُّنَّةِ ، فَقَدِ اهْتَدَى ، وَمَنْ يَكُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ ، فَقَدْ ضَلَّ

”Setiap amal itu pasti ada masa semangatnya. Dan setiap masa semangat itu pasti ada masa futur (malasnya). Barangsiapa yang kemalasannya masih dalam sunnah (petunjuk) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, maka dia berada dalam petunjuk. Namun barangsiapa yang keluar dari petunjuk tersebut, sungguh dia telah menyimpang.” [HR. Thobroni dalam Al Mu’jam Al Kabir, periwayatnya shohih. Lihat Majma’ Az Zawa’id]

Apabila seorang hamba berhenti dari amalan rutinnya, malaikat pun akan berhenti membangunkan baginya bangunan di nirwana disebabkan amalan yang cuma sesaat.

Al Hasan Al Bashri mengatakan, ”Sesungguhnya bangunan di nirwana dibangun oleh para Malaikat disebabkan amalan dzikir yang terus dilakukan. Apabila seorang hamba mengalami rasa jenuh untuk berdzikir, maka malaikat pun akan berhenti dari pekerjaannya tadi. Lantas malaikat pun mengatakan, ”Apa yang terjadi padamu, wahai fulan?” Sebab malaikat bisa menghentikan pekerjaan mereka lantaran orang yang berdzikir tadi mengalami kefuturan (kemalasan) dalam beramal.”

Oleh lantaran itu, ingatlah perkataan Ibnu Rajab Al Hambali, ”Sesungguhnya Allah lebih mengasihi amalan yang dilakukan secara kontinu (terus menerus). Allah akan memberi ganjaran pada amalan yang dilakukan secara kontinu berbeda halnya dengan orang yang melaksanakan amalan sesekali saja.” [Lihat Fathul Baari lii Ibni Rajab, 1/84]

Apakah Kontinuitas Perlu Ada dalam Setiap Amalan?

Syaikh Ibrahim Ar Ruhailiy hafizhohullah mengatakan, ”Tidak semua amalan mesti dilakukan secara rutin, perlu kiranya kita melihat pada fatwa dan petunjuk Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dalam hal ini.” [Tajridul Ittiba’, hal. 89. Untuk pembahasan pada point ini, kami berusaha sarikan dari kitab tersebut]

Untuk mengetahui manakah amalan yang mesti dirutinkan, sanggup kita lihat pada tiga jenis amalan berikut.

Pertama, amalan yang bisa dirutinkan ketika mukim (tidak bepergian) dan ketika bersafar.

Contohnya ialah puasa pada ayyamul biid (13, 14, 15 H), shalat sunnah qobliyah shubuh (shalat sunnah fajar), shalat malam (tahajud), dan shalat witir. Amalan-amalan menyerupai ini tidaklah ditinggalkan meskipun dalam keadaan bersafar.

Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berpuasa pada ayyamul biid (13, 14, 15 H) baik dalam keadaan mukim (tidak bersafar) maupun dalam keadaan bersafar.” [Diriwayatkan oleh An Nasa-i. Syaikh Al Albani menyampaikan bahwa sanad hadits ini hasan. Lihat Al Hadits Ash Shohihah 580]

Ibnul Qayyim mengatakan, “Termasuk di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar ialah mengqoshor shalat fardhu dan tidak mengerjakan shalat sunnah rawatib qobliyah dan ba’diyah. Yang biasa dia tetap lakukan ialah mengerjakan shalat sunnah witir dan shalat sunnah qabliyah shubuh. Beliau tidak pernah meninggalkan kedua shalat ini baik ketika bermukim dan ketika bersafar.” [Zaadul Ma’ad, 1/456, Muassasah Ar Risalah, cetakan keempat, 1407 H. [Tahqiq: Syu’aib Al Arnauth, ‘Abdul Qadir Al Arnauth]

Ibnul Qayyim juga mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan qiyamul lail (shalat malam) baik ketika mukim maupun ketika bersafar.” [Zaadul Ma’ad, 1/311]

Kedua, amalan yang dirutinkan ketika mukim (tidak bepergian), bukan ketika safar.

Contohnya ialah shalat sunnah rawatib selain shalat sunnah qobliyah shubuh sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim pada perkataan yang telah lewat.

Ketiga, amalan yang kadang dikerjakan pada suatu waktu dan kadang pula ditinggalkan.

Contohnya ialah puasa selain hari Senin dan Kamis. Puasa pada selain dua hari tadi boleh dilakukan kadang-kadang, contohnya saja berpuasa pada hari selasa atau rabu.

Initinya, tidak semua amalan mesti dilakukan secara rutin, itu semua melihat pada fatwa dan petunjuk Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam.

Penutup

Ketika ajal menjemput, barulah amalan seseorang berakhir. Al Hasan Al Bashri mengatakan, ”Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah mengakibatkan ajal (waktu akhir) untuk amalan seorang mukmin selain kematiannya.” Lalu Al Hasan membaca firman Allah,

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

”Dan sembahlah Rabbmu hingga tiba kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (QS. Al Hijr: 99). [Latho-if Al Ma’arif, hal. 398] Ibnu ’Abbas, Mujahid dan dominan ulama menyampaikan bahwa ”al yaqin” ialah kematian. Dinamakan demikian lantaran kematian itu sesuatu yang diyakini pasti terjadi. Az Zujaaj menyampaikan bahwa makna ayat ini ialah sembahlah Allah selamanya. Ahli tafsir lainnya mengatakan, makna ayat tersebut ialah perintah untuk beribadah kepada Allah selamanya, sepanjang hidup. [Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 4/79, Mawqi’ At Tafaasir, Asy Syamilah]

Ibadah seharusnya tidak ditinggalkan ketika dalam keadaan lapang lantaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَعَرَّفْ إِلَي اللهِ فِى الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِى الشِّدَّةِ

“Kenalilah Allah di waktu lapang, pasti Allah akan mengenalimu ketika susah.” [HR. Hakim. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Al Jami’ Ash Shogir menyampaikan bahwa hadits ini shohih]

Semoga Allah menganugerahi kita amalan-amalan yang selalu dicintai oleh-Nya. Hanya Allah yang memberi taufik. Segala puji bagi Allah yang dengan segala nikmat-Nya setiap kebaikan menjadi sempurna. []



Diselesaikan di Pangukan, Sleman, Senin sore, 16 Syawwal 1430 H.
Penulis: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, S.T., M.Sc
Artikel www.muslim.or.id
Sumber https://iberdakwah.blogspot.com/

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel