“Yakin Darul Abadi Itu Nggak Ada?” Pertanyaan Untuk Ateis
Suatu hari, dalam sebuah diskusi yang hangat, ada seorang teman yang bercerita bahwa ia tak sanggup menemukan jawaban rasional terhadap pertanyaannya seputar eksistensi akhirat. Menurutnya, kita yang di dunia ini tak sanggup mengklaim alam abadi itu ibarat apa, bahkan tak sanggup pula mengklaim bahwa alam abadi itu ada, alasannya kita belum pernah ke sana. Di ujung uraiannya, ia pun melempar retorika pamungkasnya:
“Emangnya lu yakin alam abadi itu ada?”
Nampaknya semakin banyak yang bertanya-tanya ibarat ini. Meski tergolong ‘klasik’, pertanyaan semacam ini masih membutuhkan jawaban. Persoalannya sederhana saja: pertanyaan yang tak pernah diajukan tentu tak akan mendapat jawaban. Orang yang mempertanyakan duduk kasus semacam ini hampir selalu sanggup dipastikan tidak akan membawa pertanyaannya ke hadapan guru agama, atau mengajukannya di tengah-tengah kajian keislaman. Alhasil, pihak ‘lain’ yang tampil menjawabnya.
Mungkin lantaran sudah biasa tidak mendapat jawaban atas retorikanya, teman saya tadi cukup terhenyak ketika saya membalasnya dengan sebuah retorika juga:
”Emangnya lu yakin alam abadi itu nggak ada?”
Kalau alasan untuk tidak meyakini eksistensi alam abadi yaitu lantaran kita belum pernah meninggalkan dunia (dengan kata lain: belum pernah mati), maka alasan yang sama pun sanggup dipakai untuk tidak meyakini ketiadaan akhirat. Kita memang belum pernah bertandang ke Surga dan Neraka, namun di sisi lain kita juga tak sanggup memastikan bahwa Surga dan Neraka itu tidak ada. Jika memakai metode semacam itu, maka ujung dari pencarian ini tidak lain hanyalah keraguan yang tidak menyampaikan ketentraman dalam hati orang yang bertanya. Tapi apa benar kita masih ragu?
Saya sendiri menyimpan sejumlah pertanyaan perihal alam pikiran mereka yang mengaku tak percaya (atau masih ragu) akan eksistensi Tuhan, alam abadi dan segala hal yang bekerjasama dengannya. Apa tujuan hidup mereka yang dijangkiti ketidakyakinan ini? Mereka lahir, tumbuh, berpikir, belajar, berkembang biak, sehabis itu mati dan masa hidupnya tak berarti lagi, lantaran setelah final hidup itu tak ada kehidupan lagi. Lalu apa?
Seseorang yang meyakini eksistensi alam abadi (dan konsep pembalasan yang terkait dengannya) menjalani hidup dengan rasa kepastian di dalam hatinya. Ia meyakini bahwa setelah kehidupan di dunia ini akan ada kehidupan berikutnya di akhirat; sebuah kehidupan abadi yang merupakan cerminan dari kehidupan kita di dunia. Jika kita banyak berbuat maksiat di dunia, maka kita akan menemukan penderitaan di akhirat. Demikian pula sebaliknya, kalau kita melaksanakan banyak kebaikan di dunia, maka kita akan mendapat jawaban yang baik di akhirat. Maka, untuk menghindari penderitaan di akhirat, tentu kita berusaha untuk menjadi orang baik di dunia. Tapi bagaimana dengan mereka yang tidak meyakini alam abadi ini? Apa yang sanggup mendorong mereka untuk berbuat baik dan menjauhi diri dari perbuatan keji? Yang lebih mendasar lagi: apa tujuan hidup mereka?
Dalam sebuah diskusi lain yang ‘lebih panas’, saya sempat mempertanyakan hal-hal tersebut kepada seorang rekan yang lain pula. Saya katakan padanya bahwa saya sulit membayangkan bagaimana kondisi jiwa seorang insan yang tidak meyakini akhirat. Pikir mereka, yang ada hanyalah dunia, dan setelah dunia tak ada apa-apa lagi. Artinya, eksistensi mereka berakhir dengan final hidup dan di balik final hidup hanya ada ketiadaan. Bukankah itu yaitu suatu hal yang terlalu menyeramkan untuk dibayangkan?
Jika tak ada akhirat, maka kehidupan kita di dunia tak lagi mempunyai tujuan. Sebab, konsep tujuan hanya dipahami oleh mereka yang meyakini bahwa esok masih ada. Kita, misalnya, memelihara kesehatan, sebagai investasi untuk kehidupan kita seterusnya, lantaran kita tidak ingin mengisi hari dengan sakit-sakitan. Kita menabung supaya di kemudian hari sanggup memenuhi kebutuhan. Kita mencar ilmu supaya masa depan cerah, tidak jadi pengangguran. Dan, tentu saja, kita beribadah supaya mendapat jawaban yang baik dalam kehidupan alam abadi kelak. Mereka yang meyakini jawaban di alam abadi niscaya meyakini pula bahwa tak ada kebaikan yang sia-sia, meski hidup dan kehidupan nyaris berakhir, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam:
Apabila engkau mempunyai sebiji kurma di tanganmu maka tanamlah. Meskipun besok akan kiamat, semoga engkau mendapat pahala. (HR. Ahmad)
Lalu apa yang dilakukan oleh mereka yang tak meyakini akhirat?
Teman saya ketika itu menyampaikan bahwa orang ateis pun punya tujuan hidup. Meski tak meyakini akhirat, bukan berarti mereka abai dengan kehidupannya di dunia. Menurutnya, justru orang-orang ateis inilah yang paling menghargai kehidupan, sebab, bagi mereka, kehidupan itu hanya satu saja. Setelah hidup di dunia berlalu, tak ada lagi yang tersisa. Karena hidup hanya sekali, maka manfaatkanlah sebaik-baiknya. Begitu budi berpikirnya.
Argumen itu, biarpun kedengarannya manis, tapi tidak ibarat yang dibayangkan. Ketika orang ateis menyampaikan “hidup cuma sekali”, maka pemanfaatan yang dimaksudkan yaitu bersenang-senang untuk diri sendiri. Mereka tidak memikirkan orang lain, lantaran toh hidup cuma sekali, dan tiada waktu yang boleh terbuang untuk selain diri sendiri. Oleh lantaran itu, orang ateis yang hedonis, berebut kekuasaan, melaksanakan kezaliman dan memerintah secara otoriter yaitu pemandangan yang sangat tipikal. Kalau tidak ada akhirat, maka waktu untuk berkuasa dan bersenang-senang ya hanya di dunia!
Selain itu, sama ibarat tujuan, konsep ‘rugi’ pun sebetulnya hanya dipahami oleh mereka yang meyakini akan adanya hari esok. Dengan memakai contoh-contoh sebelumnya, kita sanggup katakan bahwa orang menjaga kesehatan, menabung dan mencar ilmu lantaran tak ingin merugi di masa depan, dan juga beribadah dan menjauhi kemaksiatan supaya tak merugi di akhirat. Kalau kehidupan ini hanya di dunia, maka tentu tak ada perasaan merugi kalau harus kehilangan hidup itu, bukan?
Sekarang, orang ateis mana yang rela kehilangan hidup?
Karena itu, kita tidak menemukan kepahlawanan dalam sejarah ateisme. Mereka yang (mengaku) tidak meyakini alam abadi bukanlah orang yang siap berkorban untuk orang lain, melainkan justru merekalah yang pertama-tama mengorbankan orang lain. Tak ada kemuliaan dalam hidup mereka, lantaran tak ada nilai abadi yang hendak dijunjung. Jangan bandingkan dengan kisah tiga orang mulia yang hendak menyebarkan air minum ketika sakaratul maut dan akibatnya syahid bersama dalam keadaan itsar (saling mendahulukan), lantaran hal itu takkan terjadi di kalangan orang ateis. Di satu sisi mereka ngotot menyampaikan bahwa alam abadi itu tidak ada, di sisi lain mereka begitu takut kehilangan dunia. Tidak ada yang tersisa kecuali kontradiksi. Benarlah kata-kata Buya Hamka dalam bukunya, Pelajaran Agama Islam, ketika mengomentari orang-orang yang mengaku tidak percaya pada Tuhan ini:
Orang yang mengingkari adanya Tuhan sendiri pun, ragu dalam keingkarannya atau ingkar dalam keraguannya.
Tentang mereka ini, Buya menyimpulkan dengan tegas:
Alangkah banyaknya orang yang enggan dan memungkiri, kemudian mencari dalil hendak meniadakan Tuhan, kelak ternyata bahwa itu hanyalah bunyi dari kerongkongannya ke atas, tidak tiba dari hati sanubarinya. Dan kalau ia terus bersikap demikian, namun yang kena bukanlah Tuhan, tetapi kepalanya sendiri.
Kondisi mereka tak ubahnya masyarakat Yunani kuno yang kebingungan setelah membaca kisah Odysseus yang berjumpa dengan roh Achilles, yang cuma gentayangan saja di underworld (akhirat versi Yunani kuno). Achilles yaitu pendekar besar dari Perang Troy, namun ternyata nasibnya di alam abadi sama saja tidak jelasnya dengan yang lain; tidak di Surga, tidak pula di Neraka. Orang Yunani bagaimana pun meyakini akhirat, namun tak ada keadilan di sana. Pada akibatnya terciptalah ambiguitas yang sama dalam jiwa mereka. Mereka hidup hanya untuk dunia, namun rahasia hatinya resah juga membayangkan akhirat.
Alangkah baiknya kalau para pendusta ini segera saja mengakui dengan ikhlas bahwa sebetulnya hati mereka meyakini eksistensi akhirat. Hal itu bukan hanya lebih sehat, tapi juga lebih selamat. Mengingkari fithrah diri yaitu jalan yang terlalu menyakitkan untuk ditempuh. []
Oleh Akmal Sjafril
Pengajat, Penulis Buku & Aktivis #IndonesiaTanpaJIL (biografi)
Artikel malakmalakmal.com Sumber https://iberdakwah.blogspot.com/