Menakar Media Umum Dalam Timbangan
Ketika teknologi hadir pada peradaban yang belum siap, tentunya akan berdampak jelek pada kehidupan peradaban tersebut. Dapat kita saksikan bersama bagaimana kala keterbukaan gosip yang disponsori tunggal oleh teknologi gosip masa kini menjadikan hadirnya banyak apresiasi dan hujatan yang tidak jarang hadir dalam proporsi yang tidak berimbang. Sekarang, kita coba sedikit fokus terhadap fenomena hujatan di masa kini.
Related
Kebanyakan insan tidak mengetahui
Memang pada asalnya insan tidak mempunyai pengetahuan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا…
Kemudian dengan teknologi gosip ketika ini banyak di antara insan yang bisa beropini ihwal suatu kasus dunia, namun dalam kasus alam abadi kebanyakan insan tidak mempunyai ilmu, baik dalam ilmu itu sendiri maupun dalam amal yang dalam hal ini ialah implementasi ilmu ihwal berbicara dan memberikan pendapat dengan sopan santun yang baik. Namun yang menjadi parah, banyak di antara masyarakat yang berdebat ihwal agama melalui media sosial, padahal kebanyakan insan tidak mengetahui ilmu agama dengan baik. Sebagaimana firman Allah subahanu wa ta’ala:
وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ…
“… Akan tetapi kebanyakan insan tidak mengetahui.” (QS. Ar Ruum [30]: 6)
Kemudian Allah ta’ala berfirman ihwal mereka -yaitu kebanyakan manusia-
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
“Mereka mengetahui sisi lahiriyah kehidupan dunia, akan tetapi terhadap kasus alam abadi mereka lalai.” (QS. Ar Ruum [30]: 7)
Ibnu Katsir memaparkan, “Artinya kebanyakan insan tidak mempunyai ilmu kecuali dalam urusan dunia, tata cara menggapainya, tetek bengeknya serta kasus apa saja yang ada di dalamnya. Mereka ialah orang-orang yang cerdas dan pintar ihwal bagaimana cara meraup dunia serta celah-celah untuk bisa mendapatkannya. Namun mereka lalai terhadap hal-hal yang akan mendatangkan manfaat untuk mereka di negeri akhirat. Seolah-olah nalar mereka lenyap. Seperti halnya orang yang tidak mempunyai nalar dan pikiran.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6/168)
Baca juga: Saudaraku, Sampai Kapan Kita saling Mencela dan Mengolok-olok?
Informasi semestinya disampaikan melalui jalur dan daerah yang tepat
Luapan emosi dalam bentuk menghujat, menghina atau apapun sejenis itu ialah naluri alami dari manusia, yang berasal dari hawa nafsu yang tercela yang kita diperintahkan untuk menahannya. Padahal tidak semua apa yang kita rasakan atau ketahui harus diungkapkan, alasannya ialah ini juga ada hubungannya dengan kestabilan sosial. Sebagaimana salah satu sopan santun dalam berbicara yang disampaikan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz hendaknya kita tidak membicarakan semua yang kita dengar. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di dalam haditsnya menuturkan: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Cukuplah mnjadi pendusta seseorang yang menceritakan ulang semua apa yang telah ia dengar” (H.R. Muslim)
Artinya, tidaklah semua gosip atau keluh kesah serta ketidaksepakatan kita dalam suatu hal harus disampaikan, terlebih lagi disampaikannya tidak dalam koridor sopan santun yang baik. Ada gosip yang lebih baik disimpan, dan ada yang harus disampaikan melalui metode baik yang sesuai dengan kondisi. Karena dengan menahan emosi yang menciptakan kita memberikan pendapat tidak pada daerah dan jalurnya tersebut, bekerjsama kita sanggup terdidik menjadi orang yang lebih sampaumur dalam menghadapi banyak sekali permasalahan yang hadir.
Luapan emosi yang kini batasnya telah dipangkas oleh teknologi tersebut menjadikan kebanyakan dari kita sering lalai dan berpikir pendek. Karena memberikan informasinya juga dengan jalan yang begitu pendek dan sangat mudah. Sedikit emosi yang tersulut sanggup eksklusif terbakar di dunia maya. Hal ini juga alasannya ialah bekerjsama kita cenderung eksklusif mempercayai gosip tunggal yang masuk, didukung dengan pemahaman yang dangkal, dan rasa malas untuk mengidentifikasi lebih dalam suatu informasi, jadilah hujatan yang berkobar di dunia maya.
Media Sosial = media akselerasi hujatan dan prasangka buruk. Mengapa?
Di antara penyebab hujatan yang menjamur di dunia maya tersebut ialah prasangka jelek yang kini hampir selalu dikedepankan, yakni dengan adanya jalan pintas memberikan pendapat, sebagian dari proses kita berpikir dengan prasangka jelek juga terpangkas, alasannya ialah bekerjsama prasangka jelek itu berupa luapan yang butuh waktu untuk meredakannya. Sehingga waktu yang kita gunakan untuk menilai gosip menjadi sangat singkat, dan kemudian segera berhenti pada prasangka jelek saja. Jadilah justifikasi menurut prasangka jelek semakin di depan.
Prasangka jelek yang dipengaruhi waktu berpikir dan kedalaman ilmu pengetahuan kita, kini sangat terbantu dengan hadirnya media sosial. Tidak ada lagi waktu kita (tidak ada lagi kesabaran kita) untuk berpikir apakah perkataan maupun komentar kita ini benar atau salah, apakah baik atau buruk, apakah komentar kita ini akan membawa dampak konkret atau negatif, apakah komentar kita ini bermanfaat, dan apakah komentar kita ini akan menyakiti hati orang lain atau tidak, dan sejenisnya. Semua pertanyaan tersebut tidak sempat kita jawab, bahkan kita tanyakan kepada diri kita sendiri, alasannya ialah dorongan emosi (yang memangkas kesabaran kita) dan pendeknya lintasan untuk mengungkapkan isi otak dan hati kita.
Baca juga: Mengapa Ghibah Disamakan Dengan Memakan Bangkai Manusia?
Dalam skala yang lebih besar, bekerjsama lintasan gosip yang kian pendek oleh teknologi gosip ini tidak didukung dengan kematangan berpikir dan mental yang berpengaruh oleh kelompok insan yang memakai teknologi ini. Semestinya kemajuan teknologi gosip ini tidak disponsori tunggal oleh teknologi itu sendiri, namun juga diiringi dengan peningkatan kemampuan masyarakat dalam peradaban tersebut untuk berpikir lebih cepat dan mendalam pada ketika yang bersamaan didukung dengan kekuatan mental serta pemahaman agama yang baik. Jika tidak, maka jadilah media gosip sebagaimana yang kita dapati sekarang, media gosip yang tidak diiringi oleh perkembangan mental dan kematangan berpikir, serta kemampuan untuk bersabar membendung luapan emosi yang dilandasi pemahaman agama yang kuat, yaitu luapan emosi yang kemudian seringkali tidak berdasar pemikiran matang serta kematangan mental dan dengan cepat menyebar ke seluruh dunia menunjukkan aroma-aroma negatif dalam kehidupan. Itulah yang menjadikan media umum menjadi akselerator bagi prasangka buruk, bahkan tidak hanya prasangka buruk, namun perkataan, bahkan hingga tindakan buruk. Karena perkembangan media gosip hanya disponsori oleh teknologinya. Tidak berikut dengan perkembangan kehidupan sosial masyarakatnya, khususnya dalam hal agama yang menjadi koridor hidup kita yang bisa membendung semua hal tersebut.
Islam Sebagai Solusi
Banyak hal dalam agama yang semestinya kita kedepankan untuk menyambut perkembangan teknologi gosip tersebut untuk menghindari hal-hal jelek sebagaimana yang telah dibahas diatas, khususnya dalam hal etika berbicara. Islam mengajarkan banyak hal dalam menjaga sopan santun dalam berbicara, dalam hal ini sanggup diterapkan untuk bermedia sosial di antaranya:
Hendaknya pembicaran selalu di dalam kebaikan. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan mereka, kecuali bisik-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia, Dan barangsiapa yang berbuat demikian alasannya ialah mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (Qs. An-Nisa: 114).
2. Hendaknya menghindari perdebatan dan saling membantah, sekalipun kita berada di pihak yang benar dan menjauhi perkataan dusta sekalipun bercanda. Karena banyak di antara isi kolom komentar di dunia maya ialah berisi perdebatan dan saling bantah-membantah.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku ialah penjamin sebuah istana di taman nirwana bagi siapa saja yang menghindari bertikaian (perdebatan) sekalipun ia benar; dan (penjamin) istana di tengah-tengah nirwana bagi siapa saja yang meninggalkan dusta sekalipun bercanda”. (HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
3. Hendaknya kita menghindari perkataan jorok (keji). Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seorang mu’min itu bukanlah pencela atau pengutuk atau keji pembicaraannya”. (HR. Al-Bukhari di dalam Al Adab Al Mufrad, dan dishahihkan oleh Al-Albani).
4. Hendaknya menghindari perbuatan menggunjing (ghibah) dan mengadu domba. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:
وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ
“Dan janganlah sebagian kau menggunjing sebagian yang lain”. (Qs. Al-Hujurat: 12).
5. Hendaknya kita menghindari perkataan kasar, keras dan ucapan yang menyakitkan perasaan dan tidak mencari-cari kesalahan pembicaraan orang lain dan kekeliruannya, alasannya ialah hal tersebut sanggup mengundang kebencian, permusuhan dan pertentangan.
6. Menghindari perilaku mengejek, memperolok-olok dan memandang rendah orang yang berbicara. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokan), dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olokan). (Qs. Al-Hujurat: 11).
Demikianlah bekerjsama jikalau masyarakat kita masa ini menyadari betul bahwa agama ialah ajaran hidup kita, tentulah kesiapan masyarakat dalam menyambut perkembangan teknologi gosip akan jauh lebih baik.
Baca juga: Sikap Orang Beriman Saat Saudaranya Dighibahi
Harapan kita semua
Seiring dengan berjalannya waktu -karena insan ialah tipe makhluk yang bisa belajar- mereka akan perlahan mencicipi kejenuhan berada dalam kondisi saling menghujat dan merespon negatif satu dengan yang lainnya. Perlahan mereka akan memahami ketimpangan yang terjadi. Sehingga bekerjsama kita sedang dalam masa pencerdasan kehidupan sosial masyarakat. Kita berharap akan tiba masanya ketika insan sadar akan perbuatan-perbuatannya di dunia maya yang nampaknya maya, namun kemudian akan disadari bahwa perbuatan tersebut juga termasuk dalam kelalaian mereka dalam mengelola emosi dan dalam menjalankan perintah agama yang tentunya berdampak jelek untuk kehidupan dunia dan akhirat.
Semua itu mustahil terjadi dengan sendirinya, melainkan harus diiringi perjuangan untuk memperkuat nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari biar kesiapan masyarakat dalam menyambut teknologi di masa mendatang, tidak hanya teknologi informasi, namun teknologi apapun, semakin baik dan menjadikan seluruh teknologi tersebut bermanfaat dunia dan akhirat.
Semoga kita secara perlahan bisa menjadi insan yang semakin beriman dan bertakwa yang bertanggung jawab dan bisa memakai teknologi dengan kemajuan berpikir serta beragama dan tidak kemudian gampang untuk ikut berkobar dalam kobaran emosi bermuatan negatif dari netizen dalam menilai suatu kasus tanpa pemikiran yang matang dan mendalam yang kemudian menjadikan prasangka jelek kita semakin terakselerasi oleh media sosial.
Wallahu’alam.
Referensi: Baz, S. A. (n.d.). Al-Qismu Al-Ilmi. Dar Al-Wathan.
Penulis: Yarabisa Yanuar (Alumni Ma’had Al-‘Ilmi Yogyakarta)
Dimuroja’ah oleh: Ustadz Aris Munandar
Artikel: Muslim.Or.Id
Baca juga:
1. Kebangkrutan Besar Akibat Buruknya Lisan di Sosial Media
2. Bijak Menyikapi Kajian di YouTube dan Kajian LIVE di Media Sosial
Sumber https://iberdakwah.blogspot.com/