Istilah Rasa Bahasa

Ada sebuah anekdot. Di dalam sebuah rumah makan di sebuah kota di Amerika Serikat, seorang pengunjung, mahasiswa asing, untuk menikamti hidangan di situ tentunya, matanya kelihatan bersinar kegirangan setelah membaca menu. Pasalnya ialah di situ tercantum makanan/daging kegemarannya. Setelah pelayan mengantarkan makanan kegemarannya itu, langsung dia protes: No, no, no, I want the whole dog, not only the tail. Makanan yang dipesan itu adalah hot dog sejenis nyuknyang atau bakso yang bentuknya seperti buntut. Anekdot di atas itu menunjukkan bagaimana gampangnya terjadi kesalah-pahaman dalam berkomunikasi yang menyangkut penggunaan istilah yang di dalamnya tidak terdapat lagi identitas benda yang sebenarnya, yang ditunjukkan oleh istilah itu. Contoh-contoh lain banyak.
Related
Dalam dunia ilmiyah juga tidak luput dari kerancuan ini. Ambillah misalnya istilah radiator, yaitu alat untuk mendinginkan mesin. Istilah itu sebenarnya tidak menunjukkan proses yang sebenarnya yang terjadi dalam alat itu. Panas mesin yang diserap oleh alat itu kemudian dibuang ke udara, dalam proses pemindahan panas itu bukanlah proses radiasi, melainkan proses konveksi. Jadi istilah yang semestinya adalah konvektor. Dan inilah tradisi dalam berbahasa, walaupun salah, walaupun tidak menunjukkan identitas benda ataupun proses, tetapi kalau sudah memasyarakat, ya tetaplah dipergunakan: radiator bukan konvektor.
Demikian pula istilah chlorophyl (dari bahasa Yunani: khloros = hijau, phyllon = daun) zat hijau daun. Istilah ilmiyah ini tidaklah menunjukkan identitas zat itu secara eksak. Zat itu terdapat pada seluruh bahagian pohon, ya di daun, ya di ranting, ya di dahan, ya di batang, asal warna bahagian pohon tersebut masih berwarna hijau. Walupun zat itu terdapat pada seluruh bahagian pohon, tetap dalam dunia ilmiyah disebut zat hijau daun, bukan zat hijau pohon. Walaupun dalam Al Quran S. Yasin 80 disebut Asysyajaru lAkhdhar, zat hijau pohon (lihat Seri 003, Interaksi Iman dan Ilmu, Pencemaran Thermal), para pakar Muslimpun tetap menamakannya chlorophyl.
Menurut seorang mahasisa dari Faculteit der Technische Wetenashappen Universiteit van Indonesie (sekarang yang sudah lama menyendiri dengan identitas Institut Teknologi Bandung), seorang dosen Belanda (umumnya berasal dari Technische Hoge School, Delft, Nederland) bernama Ir J.G. Boersma, yang memberikan kuliah fisika di fakultas tersebut (yang tentu saja dengan bahasa pengantar dalam bahasa Belanda), berucap demikian: "Mijne heren ik wil niet en zal nooit de term levende kracht gebruiken." (Tuan, tuan, saya tidak mau dan tidak akan pernah mempergunakan istilah levende kracht). Ucapan ini ditekankan betul oleh Boersma, berhubung banyak mahasiswa yang tidak lulus karena membuat domme fout, kesalahan yang bodoh, memperlakukan energi sebagai vektor.
Kalau dalam konteks kehidupan berbudaya, kerancuan penggunaan istilah itu kalau sudah memasyarakat, sudah kesepakatan komunitas, maka itu maa- fi lmasalah (no problem). Lain halnya dalam pemakaian istilah dalam kehidupan beragama, khususnya agama Islam. Istilah yang sudah memasyarakat tetapi maknanya tidak sesuai dengan bahasa Al Quran, menyebabkan ibadah yang dilakukan tidak akan mendapatkan nilai ibadah, tidak memperoleh nilai ukhrawi. Antara lain mengenai istilah Qurban. Istilah korban atau kurban dalam bahasa Indonesia mempunyai konotasi yang khas, diwarnai oleh rasa bahasa Inggeris (baca: kepercayaan paganism): offering dan sacrifice.
Kurban dalam bahasa Indonesia diadopsi dari bahasa Al Quran, namun "rasa-bahasanya" dipengaruhi oleh paganism, yaitu erat hubungannya dengan darah dan daging, yang diwarnai oleh offering dan sacrifice: suatu persembahan yang sakral. Oleh sebab itu sangat penting bagi ummat Islam yang sekarang ini sudah bersiap-siap untuk menyambut 'Iedu lQurban dengan menyembelih hewan kurban. Adapun darah dan daging hewan kurban itu bukanlah offering dan bukan pula sacrifice, tegasnya bukanlah persembahan yang sakral. Dengarlah firman Allah dalam Al Quran S. Al Hajj 37: Yang artinya : Tidak akan sampai kepada Allah daging-dagingnya dan tidak pula darah-darahnya, akan tetapi yang sampai kepadaNya ialah ketaqwaan kamu.
Jadi menurut Al Quran daging dan darah tidak ada relevansinya dengan upacara kurban. Ajaran Islam menolak pemahaman kurban sebagai persembahan yang sakral. Kurban harus diresapkan artinya dalam rasa bahasa asalnya, bahasa Al Quran, yang dibentuk oleh akar kata yang terdiri dari 3 huruf: qaf, ra, ba, artinya dekat. Menyembelih binatang kurban, dagingnya untuk dimakan sendiri dan untuk dimakan fakir miskin sebagai fungsi sosial, darahnya dibuang, karena haram dimakan. Dan arti spiritualnya mendekatkan diri, taqarrub kepada Allah SWT sebagai tanda berbakti kepadaNya, melaksanakan perintahNya dengan semangat taqwa. Yaitu menapak tilas secara ruhaniyah dari Nabi Ibrahim dan Nabi 'Isma'il 'alayhimassalam.