Karena Setiap Kita Niscaya Akan Diuji


Saudaraku, dalam menapaki kehidupan dunia yang fana ini, kita senantiasa dihadapkan pada dua keadaan, senang atau sengsara. Perubahan keadaan itu sanggup terjadi kapan saja sesuai dengan takdir Allah Ta’ala. Sementara sejak diciptakan, watak dasar insan memang tidak pernah merasa puas. Apabila diberi kesenangan, insan lalai dan tak menentu. Sebaliknya jikalau diberi kesulitan, ia akan bersedih dan resah gulana tak karuan. Padahal sejatinya bagi seorang mukmin, segala yang terjadi pada dirinya, seharusnya tetap menjadi kebaikan bagi dirinya. Begitulah keistimewaan seorang mukmin sejati. Hal ini ditunjukkan dalam sebuah sabda yang diucapkan oleh pemimpin dan suri tauladan bagi orang-orang yang bertakwa. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ عجب. مَا يَقْضِي اللهُ لَهُ مِنْ قَضَاءٍ إِلاَ كَانَ خَيْرًا لَهُ, إِِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh menakjubkan  keadaan seorang mukmin. Segala keadaan yang dialaminya sangat menakjubkan. Setiap takdir yang ditetapkan Allah bagi dirinya merupakan kebaikan. Apabila ia mengalami kebaikan, ia bersyukur, dan hal itu merupakan kebaikan baginya. Dan apabila ia tertimpa keburukan, maka ia bersabar dan hal itu merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim no.2999, dari sahabat Shuhaib)

Related


Benarlah, bergotong-royong hanya orang yang beriman yang sanggup lurus dalam menyikapi silih bergantinya situasi dan kondisi. Hal ini alasannya yaitu ia meyakini keagungan dan kekuasaan Allah Ta’ala serta tahu akan kelemahan dirinya. Tidak dipungkiri memang, peristiwa alam dan peristiwa akan selalu menyisakan kesedihan dan kepedihan. Betapa tidak, orang yang dicinta sekarang telah tiada, harta benda musnah tak bersisa, aneka macam kegiatan tertunda, bahkan segenap waktu dan perasaan tercurah untuk memikirkannya.

Hakikat Musibah

Musibah yaitu kasus yang tidak disukai yang menimpa manusia. Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan: “Musibah yaitu segala apa yang mengganggu seorang mukmin dan yang menimpanya.” (Al-Jami’li Ahkamil Qur’an, 2/175)

تُرْجَعُونَ وَإِلَيْنَا فِتْنَةً وَالْخَيْرِ بِالشَّرِّ وَنَبْلُوكُمْ الْمَوْتِ ذَائِقَةُ نَفْسٍ كُلُّ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan mencicipi mati. Kami akan menguji kau dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kau dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya: 35)

Dunia ini yaitu medan usaha seorang mukmin untuk menjadi sebaik-baik hamba. Allah Ta’ala berfirman :

تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

“Maha Suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang mengakibatkan mati dan hidup, biar Dia menguji kamu, siapa di antara kau yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 1-2)

Pentingnya Istirja’ Ketika Datang Musibah

Istirja’ yaitu ucapan إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهَ رَاجِعُونَ yang artinya “Sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali.”

Shahabiyah Ummu Salamah radhiyallahu’anha menyebutkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,

:مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيْبُهُ مُصِيْبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللهُ
اللهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا خْلَفَ وَاخْلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا؛ إِلاَّ أَ مُصِيْبَتِي إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي

“Tiada seorang muslim yang ditimpa peristiwa alam kemudian ia menyampaikan apa yang diperintahkan Allah (yaitu): ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun, wahai Allah, berilah saya pahala pada (musibah) yang menimpaku dan berilah ganti bagiku yang lebih baik darinya’; kecuali Allah menunjukkan kepadanya yang lebih baik darinya.” (HR. Muslim no.918)

Kalimat istirja’ yaitu obat termanjur bagi mereka yang tertimpa peristiwa alam dan paling mempunyai kegunaan bagi seorang hamba di dunia dan di alam abadi alasannya yaitu ia mengandung dua pondasi dasar yang apabila seorang hamba merealisasikan dengan mengetahui dua pondasi tersebut, insya Allah dirinya terhibur dari peristiwa alam tersebut.

Pondasi pertama yaitu hendaknya seorang hamba itu mengakui bahwa dirinya, keluarganya, harta dan anaknya pada hakikatnya yaitu milik Allah Ta’ala. Dia hanya menitipkannya pada seorang hamba. Apabila Dia mengambilnya, mirip pemilik barang mengambil barangnya yang dipinjam orang lain

Pondasi kedua yaitu bergotong-royong daerah kembali dan tamat perjalanan seorang hamba yaitu kepada “Pemilik” yang sesungguhnya. Suatu masa, ia harus meninggalkan dunia ini di belakang punggungnya, dan tiba mengharap Rabbnya di hari tamat nanti seorang diri, sebagaimana Allah Ta’ala menciptakannya pertama kali, tanpa keluarga, harta, teman.  Seseorang tidak akan membawa apapun kecuali amal kebaikan dan keburukan di alam abadi nanti. Karena itu, dengan mengetahui dan menyadari keadaan seorang hamba di awal penciptaan dan di tamat kehidupan dunia, bagaimana mungkin ia akan akan bergembira atau bersedih alasannya yaitu berpisah dengan sesuatu yang sejatinya bukan miliknya?

Penawar Kesedihan

Sebagian orang beranggapan bahwa orang yang ditimpa peristiwa alam mirip sakit dan semisalnya yaitu orang yang dimurkai Allah Ta’ala, padahal tidaklah demikian kenyataannya. Terkadang seseorang diuji dengan penyakit dan peristiwa alam padahal ia seorang yang mulia di sisi-Nya mirip para nabi, rasul dan orang shalih. Musibah yang menimpa mereka tidak lain yaitu untuk mengangkat kedudukan mereka dan dibesarkannya pahala serta sebagai pola kesabaran bagi orang yang tiba sehabis mereka.

Terkadang seorang diuji dengan kesenangan mirip harta yang banyak, anak-anak, istri dan lainnya, akan tetapi tidak sepantasnya dikatakan orang yang dicintai Allah Ta’ala jikalau tidak melaksanakan ketaatan kepada-Nya atau justru terlena karenanya. Orang yang menerima aneka macam kenikmatan sanggup jadi memang termasuk orang yang dicintai Allah Ta’ala atau bahkan sebaliknya.

Seorang mukmin hendaknya yakin bahwa apa yang ditakdirkan Allah Ta’ala pasti akan menimpanya dan tidak meleset sedikitpun. Sedangkan apa yang tidak ditakdirkan oleh-Nya pasti tidak akan menimpanya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya :

“Tiada suatu peristiwa pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu yaitu gampang bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikan itu) biar kau jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kau dan biar kau jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”(Al Hadid: 22-23)

Ingatlah Saudaraku, cobaan dan penyakit merupakan tanda kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala jikalau mengasihi suatu kaum, maka Dia akan memberi mereka cobaan.”(HR. Tirmidzi, shahih)

Ada Faedah di Balik Musibah

Saudaraku, sesungguhnya peristiwa alam yang menimpa, tak lain yaitu sarana penggugur dosa seorang hamba, mirip yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Ujian akan terus tiba kepada seorang mukmin atau mukminah mengenai jasadnya, hartanya, dan anaknya sehingga ia menghadap Allah tanpa membawa dosa.” (HR. Ahmad, hasan shahih)

Allah Maha Bijaksana, tiada keputusan dan ketentuan-Nya yang lepas dari hikmah. Tak terkecuali dengan kasus peristiwa alam ini. Kalaulah seandainya tidak ada faedah dari peristiwa alam ini kecuali sebagai penghapus dosa dimana itu saja sudah mencukupi, apatah lagi jikalau di sana ada setumpuk faedah? Subhanallah!

Terakhir, mari kita perhatikan nasihat Ibnu Qayyim rahimahullah berikut ; “Andaikata kita sanggup menggali pesan yang tersirat Allah yang terkandung dalam ciptaan dan urusan-Nya, maka tidak kurang dari ribuan pesan yang tersirat (yang sanggup kita gali.red). Namun nalar kita sangatlah terbatas, pengetahuan kita terlalu sedikit dan ilmu semua makhluk akan sia-sia jikalau dibandingkan dengan ilmu Allah, sebagaimana sinar lamu yang sia-sia di bawah sinar matahari.” (Lihat Do’a dan Wirid, Yazid bin Abdul Qadir Jawaz)




Penulis: Novia Kurniawati Ummu Ilyas
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Artikel Muslimah.Or.Id

Maraji’:
1. Hiburan bagi Orang yang Tertimpa Musibah [terj. Tasliyatu Ahlil Masha’ib], Muhammad bin Muhammad Al Majnabi Al Hambali, Darul Haq.
2. http://asysyariah.com/pelipur-lara-saat-musibah-dan-bencana.html
3. https://mastahshare.blogspot.com/search?q=
4. http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/rahasia-sakit.html
5. http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/tips-bersabar-1-macam-macam-kesabaran.html
6. Jeda Radio berjudul Musibah.Radio Rodja.
7. Tazkiyatun Nafs, Konsep Penyucian Jiwa Menurut Ulama Salafushshalih [Terj. Tazkiyatun Nafs], Ibnu Rajab Al Hambali, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Imam Al Ghazali, Pustaka Arafah.
Sumber https://iberdakwah.blogspot.com/

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel