Bila Tidak Tahu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Tidak Menjawab Pertanyaan
Related
Imam al Bukhari rahimahullah dan Muslim rahimahullah meriwayatkan :
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ مَرِضْتُ فَعَادَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَهُمَا مَاشِيَانِ فَأَتَانِي وَقَدْ أُغْمِيَ عَلَيَّ فَتَوَضَّأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَبَّ عَلَيَّ وَضُوءَهُ فَأَفَقْت فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ أَصْنَعُ فِي مَالِي كَيْفَ أَقْضِي فِي مَالِيفَلَمْ يُجِبْنِي بِشَيْءٍ حَتَّى نَزَلَتْ آيَةُ الْمَوَارِيثِ
Dari Muhammad bin al Munkadir, ia mendengar Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma bercerita : “Aku pernah sakit. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Abu Bakar Radhiyallahu anhu menjengukku dengan berjalan kaki. Beliau mendatangiku ketika saya pingsan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil air wudhu dan memercikkan air wudhunya kepadaku sehingga saya siuman”. Aku bertanya : “Wahai, Rasulullah. Bagaimana cara saya menangani urusan hartaku? Apa yang harus saya lakukan terhadap hartaku?”
Imam al Bukhari menempatkan hadits ini pada cuilan : (artinya) Nabi, (bila) ditanya ihwal sesuatu yang belum turun wahyu padanya, ia menyampaikan “aku tidak tahu”, atau tidak menjawab, hingga turunnya wahyu; tidak berkata menurut ra`yu atau qiyas merujuk firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu” [Q.S An Nisa : 104.]. [Lihat Fathul Bari 13/290].
Sikap semacam ini diikuti oleh para sobat dan para ulama generasi berikutnya. Tidak mau menjawab, dan atau melemparkan pertanyaan itu kepada orang lain dalam masalah-masalah yang memang belum mereka ketahui duduk persoalannya atau hukumnya. Karena memang, tidak ada orang yang menguasai seluruh ilmu.
Contoh untuk masa sekarang, Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbad hafizhahullah. Seorang yang ‘alim dalam bidang hadits. Dalam taklim yang diselenggarakan pada malam hari di Masjid Nabawi, tidak jarang ia menyampaikan “la adri” (aku tidak tahu) di depan hadirin, pada kasus yang ditanyakan kepada beliau. Demikian ini merupakan perilaku ksatria, sebagai wujud pengukuhan betapa dangkalnya ilmu manusia, dan betapa luasnya ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala al ‘Alimu al Khabir.
Seseorang yang bukan andal di dalam satu bidang, ia harus legawa, tidak memasuki wilayah yang bukan bidangnya secara mendalam. Utamanya dalam kasus agama.
Begitu pula, orang yang ilmu agamanya masih setengah-setengah, dilarang “nekad” memposisikan diri sebagai mufti dan berfatwa merampungkan problem hukum-hukum syariat yang disodorkan masyarakat. Hukum yang keluar dari lisan kita tanpa landasan ilmu dari Allah dan RasulNya, merupakan kedustaan atas nama Allah dan RasulNya. []
(Diangkat dari kitab An Nabiyyu Mu’alliman, Prof. Dr Fadhl Ilahi, Cet. I, Idaratu Turjumani al Islam, Pakistan, 1424H / 2003M)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl9 Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Artikel oleh Al Manhaj
Sumber https://iberdakwah.blogspot.com/