Tumbal Dan Sesajen Dalam Pandangan Islam
Ritual mempersembahkan tumbal atau sesajen kepada makhuk halus atau jin yang dianggap sebagai penunggu atau penguasa kawasan keramat tertentu ialah kebiasaan syirik yaitu menyekutukan Allah ta’ala dengan makhluk yang sudah berlangsung bebuyutan di masyarakat kita. Mereka meyakini makhluk halus tersebut mempunyai kemampuan untuk memperlihatkan kebaikan atau menimpakan malapetaka kepada siapa saja, sehingga dengan mempersembahkan tumbal atau sesajen mereka berharap sanggup meredam kemarahan makhluk halus itu dan semoga segala permohonan mereka dipenuhinya.
Related
Artinya, orang-orang di zaman Jahiliyah meminta proteksi kepada para jin dengan mempersembahkan ibadah dan penghambaan diri kepada para jin tersebut, menyerupai menyembelih binatang kurban sebagai tumbal, bernadzar, meminta pertolongan dan lain-lain. (Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir 4/550, Taisiirul Kariimir Rahmaan hal. 890, at-Tamhiid Li Syarhi Kitaabit Tauhiid hal. 317 dan kitab Hum Laisu Bisyai‘ hal. 4)
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata, “Jin (syaitan) mendapat kesenangan dengan insan menaatinya, menyembahnya, mengagungkannya dan berlindung kepadanya (berbuat syirik dan kufur kepada Allah ta’ala). Sedangkan insan mendapat kesenangan dengan dipenuhi dan tercapainya keinginannya dengan alasannya ialah sumbangan dari para jin untuk memuaskan keinginannya. Maka, orang yang menghambakan diri pada jin, sebagai imbalannya jin tersebut akan membantunya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.” (Lihat kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan hal. 273)
Mempersembahkan kurban yang berarti mengeluarkan sebagian harta dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala (Lihat definisi ini di kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan hal. 282), ialah suatu bentuk ibadah besar dan agung yang hanya pantas ditujukan kepada Allah ta’ala. Sebagaimana dalam firmanNya,
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurbanku), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan saya ialah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’” (QS. Al-An’aam: 162-163).
Dalam ayat lain, Allah ta’ala berfirman kepada NabiNya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Maka, dirikanlah shalat lantaran Rabbmu dan berkurbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2).
Kedua ayat ini memperlihatkan agungnya keutamaan ibadah shalat dan berkurban, lantaran melaksanakan dua ibadah ini merupakan bukti kecintaan kepada Allah ta’ala dan pemurnian agama bagiNya semata, serta pendekatan diri kepadaNya dengan hati, verbal dan anggota badan, juga dengan menyembelih kurban yang merupakan pengorbanan harta yang dicintai jiwa kepada Dzat yang lebih dicintainya, yaitu Allah ta’ala. (Lihat kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan hal. 228)
Oleh lantaran itu, maka mempersembahkan ibadah ini kepada selain Allah ta’ala (baik itu jin, makhluk halus ataupun manusia) dengan tujuan untuk mengagungkan dan mendekatkan diri kepadanya, yang dikenal dengan istilah tumbal atau sesajen, ialah perbuatan dosa yang sangat besar, bahkan merupakan perbuatan syirik besar yang bisa menimbulkan pelakunya keluar dari agama Islam. (Lihat kitab Syarhu Shahiihi Muslim 13/141, al-Qaulul Mufiid ‘Ala Kitaabit Tauhiid 1/215 dan kitab at-Tamhiid Li Syarhi Kitaabit Tauhiid hal. 146)
Dalam sebuah hadits shahih, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melaknat orang yang menyembelih (berkurban) untuk selainNya.” (HR. Muslim)
Hadits ini memperlihatkan bahaya besar bagi orang yang menyembelih (berkurban) untuk selainNya, dengan laknat Allah ta’ala yaitu dijauhkan dari rahmatNya. Karena perbuatan ini termasuk dosa yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik kepada Allah ta’ala, sehingga pelakunya pantas untuk mandapatkan laknat Allah ta’ala dan dijauhkan dari rahmatNya. (Keterangan Syaikh Shalih Alu Syaikh dalam kitab at Tamhiid Li Syarhi Kitaabit Tauhiid hal. 146)
Penting sekali untuk diingatkan dalam pembahasan ini, bahwa faktor utama yang menimbulkan besarnya keburukan perbuatan ini, bukanlah semata-mata lantaran besar atau kecilnya kurban yang dipersembahkan kepada selainNya, tetapi lantaran besarnya pengagungan dan ketakutan dalam hati orang yang mempersembahkan kurban tersebut kepada selainNya, yang semua ini merupakan ibadah hati yang agung yang hanya pantas ditujukan kepada Allah ta’ala semata.
Oleh lantaran itu, meskipun kurban yang dipersembahkan sangat kecil dan remeh, bahkan seekor lalat sekalipun, bila disertai dengan pengagungan dan ketakutan dalam hati kepada selainNya, maka ini juga termasuk perbuatan syirik besar. (Lihat kitab Fathul Majid hal. 178 dan 179)
Hukum Berpartisipasi dan Membantu dalam Acara Tumbal dan Sesajen
Setelah kita mengetahui bahwa melaksanakan ritual jahiliyyah ini ialah dosa yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik kepada Allah, yang berarti terkena bahaya dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya, Allah tidak akan mengampuni (dosa) perbuatan syirik (menyekutukan-Nya), dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang sangat besar.” (QS. An Nisaa’: 48).
Maka, ikut berpartisipasi dan membantu terselenggaranya program ini dalam segala bentuknya, adalah termasuk dosa yang sangat besar, lantaran termasuk bantu-membantu dalam perbuatan maksiat yang sangat besar kepada Allah, yaitu perbuatan syirik.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan tolong-menolonglah kau dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah bantu-membantu dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kau kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya.” (QS. Al-Ma’idah: 2).
Imam Ibnu Katsir berkata, “(Dalam ayat ini) Allah ta’ala memerintahkan kepada hamba-hambaNya yang beriman untuk saling menolong dalam melaksanakan perbuatan-perbuatan baik, yang ini ialah al-birr (kebajikan), dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mungkar, yang ini ialah ketakwaan, serta melarang mereka dari saling membantu dalam kebatilan dan bantu-membantu dalam perbuatan dosa dan maksiat.” ( Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir 2/5)
Dan dalam hadits shahih perihal haramnya perbuatan riba dan haramnya ikut membantu serta mendukung perbuatan ini, dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memakan riba, orang yang mengusahakannya, orang yang menulis transaksinya, dan dua orang yang menjadi saksinya, mereka semua sama (dalam perbuatan dosa).” (HR. Muslim)
Imam an-Nawawi berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil yang memperlihatkan diharamkannya mendukung terselenggaranya perbuatan maksiat.” (Lihat Kitab Syarhu Shahiihi Muslim 11/26)
Hukum Memanfaatkan Makanan Harta yang Digunakan untuk Tumbal (Sesajen)
Jika makanan tersebut berupa binatang sembelihan, maka dilarang dimanfaatkan dalam bentuk apapun, baik untuk dimakan atau dijual, lantaran binatang sembelihan tersebut dipersembahkan kepada selain Allah ta’ala, maka dagingnya haram dimakan dan najis, sama hukumnya dengan daging bangkai. (Lihat keterangan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dalam catatan kaki dia terhadap kitab Fathul Majiid hal. 175)
Allah ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allah.” (QS. Al-Baqarah: 173).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah saat menafsirkan ayat ini, dia berkata, “Semua binatang yang disembelih untuk selain Allah dilarang dimakan dagingnya.” (Lihat kitab Daqaiqut Tafsiir 2/130)
Dan lantaran daging ini haram dimakan, maka berarti haram untuk diperjual-belikan, menurut sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya, Allah ta’ala bila mengharamkan memakan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan harganya (diperjualbelikan).” (HR Ahmad 1/293, Ibnu Hibban no. 4938 dan lain-lain, Dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani dalam kitab Ghaayatul Maraam no. 318)
Adapun bila makanan tersebut selain binatang sembelihan, demikian juga harta, maka sebagian ulama ada yang mengharamkannya dan menyamakan hukumnya dengan binatang sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allah ta’ala. (Lihat keterangan Syaikh Muhammad Hamid Al Faqiy dalam catatan kaki dia terhadap kitab Fathul Majiid hal. 174)
Akan tetapi pendapat yang lebih besar lengan berkuasa dalam duduk perkara ini, insya Allah, ialah pendapat yang dikemukakan oleh Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz yang membolehkan pemanfaatan makanan dan harta tersebut, selain sembelihan, lantaran aturan asal makanan atau harta tersebut ialah halal dan telah ditinggalkan oleh pemiliknya.
Penutup
Demikianlah goresan pena ringkas ini, semoga bermanfaat bagi semua orang yang membacanya untuk kebaikan dunia dan akhiratnya.
Wa shalallahu wa sallama wa baraka ‘ala nabiyyina Muhammadin wa alihi wa shahbihi ajma’in. Wa akhiru da’wana anilhamdulillahi rabbil ‘alamin. []
Oleh: Tim Buletin At Tauhid / Artikel buletin.muslim.or.id
Diringkas dengan perubahan redaksional dari artikel goresan pena ustadz Abdullah Taslim, MA yang berjudul “Tumbal dan Sesajen Tradisi Syirik Warisan Jahiliyah”
Pranala luar:
1. https://buletin.muslim.or.id/aqidah/tumbal-dan-sesajen-dalam-pandangan-islam
2. https://rumaysho.com/2222-jembatan-ambruk-karena-tidak-ada-tumbal.html
3. https://muslim.or.id/41303-menyembelih-tumbal-adalah-syirik-akbar.html
4. http://muslim.or.id/aqidah/tumbal-dan-sesajen-tradisi-syirik-warisan-jahiliyah.html
Sumber https://iberdakwah.blogspot.com/