Tips Menentukan Pasangan Idaman Sesuai Syariat Islam


Terikatnya jalinan cinta dua orang manusia dalam sebuah kesepakatan nikah ialah kasus yang sangat diperhatikan dalam syariat Islam yang mulia ini. Bahkan kita dianjurkan untuk serius dalam permasalahan ini dan dihentikan mengakibatkan hal ini sebagai materi candaan atau main-main.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

Related

ثلاث جدهن جد وهزلهن جد: النكاح والطلاق والرجعة

“Tiga hal yang seriusnya dianggap benar-benar serius dan bercandanya dianggap serius: nikah, cerai dan ruju.'” (Diriwayatkan oleh Al Arba’ah kecuali An Nasa’i. Dihasankan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah)

Salah satunya dikarenakan menikah berarti mengikat seseorang untuk menjadi sobat hidup tidak hanya untuk satu-dua hari saja bahkan seumur hidup, insya Allah. Jika demikian, merupakan salah satu kemuliaan syariat Islam bahwa orang yang hendak menikah diperintahkan untuk berhati-hati, teliti dan penuh pertimbangan dalam menentukan pasangan hidup.

Sungguh sayang, usulan ini sudah semakin diabaikan oleh kebanyakan kaum muslimin. Sebagian mereka terjerumus dalam perbuatan maksiat menyerupai pacaran dan semacamnya, sehingga mereka pun balasannya menikah dengan kekasih mereka tanpa memperhatikan bagaimana keadaan agamanya. Sebagian lagi menentukan pasangannya hanya dengan pertimbangan fisik. Mereka berlomba mencari perempuan bagus untuk dipinang tanpa peduli bagaimana kondisi agamanya. Sebagian lagi menikah untuk menumpuk kekayaan. Mereka pun meminang lelaki atau perempuan yang kaya raya untuk mendapat hartanya. Yang terbaik tentu ialah apa yang dianjurkan oleh syariat, yaitu berhati-hati, teliti dan penuh pertimbangan dalam menentukan pasangan hidup serta menimbang anjuran-anjuran agama dalam menentukan pasangan.

Setiap muslim yang ingin beruntung dunia alam abadi hendaknya mengidam-idamkan sosok suami dan istri dengan kriteria sebagai berikut:

1. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya
Ini ialah kriteria yang paling utama dari kriteria yang lain. Maka dalam menentukan calon pasangan hidup, minimal harus terdapat satu syarat ini. Karena Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian ialah yang paling bertaqwa.” (QS. Al Hujurat: 13)

Sedangkan taqwa ialah menjaga diri dari adzab Allah Ta’ala dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka hendaknya seorang muslim berjuang untuk mendapat calon pasangan yang paling mulia di sisi Allah, yaitu seorang yang taat kepada aturan agama. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pun menganjurkan menentukan istri yang baik agamanya,

تنكح المرأة لأربع: لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها، فاظفر بذات الدين تربت يداك

“Wanita biasanya dinikahi lantaran empat hal: lantaran hartanya, lantaran kedudukannya, lantaran parasnya dan lantaran agamanya. Maka hendaklah kau pilih perempuan yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, pasti kau akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إذا جاءكم من ترضون دينه وخلقه فزوجوه إلا تفعلوه تكن فتنة في الأرض وفساد كبير

“Jika tiba kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Tirmidzi. Al Albani berkata dalam Adh Dho’ifah bahwa hadits ini hasan lighoirihi)

Jika demikian, maka ilmu agama ialah poin penting yang menjadi perhatian dalam menentukan pasangan. Karena bagaimana mungkin seseorang sanggup menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, padahal dia tidak tahu apa saja yang diperintahkan oleh Allah dan apa saja yang dihentikan oleh-Nya? Dan disinilah diharapkan ilmu agama untuk mengetahuinya.

Maka pilihlah calon pasangan hidup yang mempunyai pemahaman yang baik wacana agama. Karena salah satu tanda orang yang diberi kebaikan oleh Allah ialah mempunyai pemahaman agama yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

“Orang yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapat kebaikan akan dipahamkan terhadap ilmu agama.” (HR. Bukhari-Muslim)

2. Al Kafa’ah (Sekufu)
Yang dimaksud dengan sekufu atau al kafa’ah -secara bahasa- ialah sebanding dalam hal kedudukan, agama, nasab, rumah dan selainnya (Lisaanul Arab, Ibnu Manzhur). Al Kafa’ah secara syariat berdasarkan lebih banyak didominasi ulama ialah sebanding dalam agama, nasab (keturunan), kemerdekaan dan pekerjaan. (Dinukil dari Panduan Lengkap Nikah, hal. 175). Atau dengan kata lain kesetaraan dalam agama dan status sosial. Banyak dalil yang menawarkan usulan ini. Di antaranya firman Allah Ta’ala,

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ

“Wanita-wanita yang keji untuk pria yang keji. Dan pria yang keji untuk wanita-wanita yang keji pula. Wanita-wanita yang baik untuk pria yang baik. Dan pria yang baik untuk wanita-wanita yang baik pula.” (QS. An Nur: 26)

Al Bukhari pun dalam kitab shahihnya membuat Bab Al Akfaa fid Diin (Sekufu dalam agama) kemudian di dalamnya terdapat hadits,

تنكح المرأة لأربع: لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها، فاظفر بذات الدين تربت يداك

“Wanita biasanya dinikahi lantaran empat hal: lantaran hartanya, lantaran kedudukannya, lantaran parasnya dan lantaran agamanya. Maka hendaklah kau pilih lantaran agamanya (keislamannya), alasannya kalau tidak demikian, pasti kau akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)

Salah satu nasihat dari usulan ini ialah kesetaraan dalam agama dan kedudukan sosial sanggup menjadi faktor kelanggengan rumah tangga. Hal ini diisyaratkan oleh cerita Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, seorang teman yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dinikahkan dengan Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha. Zainab ialah perempuan terpandang dan cantik, sedangkan Zaid ialah lelaki biasa yang tidak tampan. Walhasil, kesepakatan nikah mereka pun tidak berlangsung lama. Jika masalah menyerupai ini terjadi pada teman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi kita?

3. Menyenangkan bila dipandang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang telah disebutkan, membolehkan kita untuk mengakibatkan faktor fisik sebagai salah satu kriteria menentukan calon pasangan. Karena paras yang bagus atau tampan, juga keadaan fisik yang menarik lainnya dari calon pasangan hidup kita ialah salah satu faktor penunjang keharmonisan rumah tangga. Maka mempertimbangkan hal tersebut sejalan dengan tujuan dari pernikahan, yaitu untuk membuat ketentraman dalam hati.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا

“Dan di antara tanda kekuasaan Allah ialah Ia membuat bagimu istri-istri dari jenismu sendiri semoga kau merasa tenteram denganya.” (QS. Ar Ruum: 21)

Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan 4 ciri perempuan sholihah yang salah satunya,

وان نظر إليها سرته

“Jika memandangnya, membuat suami senang.” (HR. Abu Dawud. Al Hakim berkata bahwa sanad hadits ini shahih)

Oleh lantaran itu, Islam menetapkan adanya nazhor, yaitu melihat perempuan yang yang hendak dilamar. Sehingga sang lelaki sanggup mempertimbangkan perempuan yang yang hendak dilamarnya dari segi fisik. Sebagaimana saat ada seorang teman mengabarkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia akan melamar seorang perempuan Anshar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أنظرت إليها قال لا قال فاذهب فانظر إليها فإن في أعين الأنصار شيئا

“Sudahkah engkau melihatnya?” Sahabat tersebut berkata, “Belum.” Beliau kemudian bersabda, “Pergilah kepadanya dan lihatlah ia, alasannya pada mata orang-orang Anshar terdapat sesuatu.” (HR. Muslim)

4. Subur (mampu menghasilkan keturunan)
Di antara nasihat dari kesepakatan nikah ialah untuk meneruskan keturunan dan memperbanyak jumlah kaum muslimin dan memperkuat izzah (kemuliaan) kaum muslimin. Karena dari kesepakatan nikah diharapkan lahirlah belum dewasa kaum muslimin yang nantinya menjadi orang-orang yang shalih yang mendakwahkan Islam. Oleh lantaran itulah, Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk menentukan calon istri yang subur,

تزوجوا الودود الولود فاني مكاثر بكم الأمم

“Nikahilah perempuan yang penyayang dan subur! Karena saya berbangga dengan banyaknya ummatku.” (HR. An Nasa’I, Abu Dawud. Dihasankan oleh Al Albani dalam Misykatul Mashabih)

Karena alasan ini juga sebagian fuqoha (para pakar fiqih) beropini bolehnya fas-khu an nikah (membatalkan pernikahan) lantaran diketahui suami mempunyai impotensi yang parah. As Sa’di berkata: “Jika seorang istri sesudah kesepakatan nikah mendapati suaminya ternyata impoten, maka diberi waktu selama 1 tahun, bila masih dalam keadaan demikian, maka kesepakatan nikah dibatalkan (oleh penguasa)” (Lihat Manhajus Salikin, Bab ‘Uyub fin Nikah hal. 202)

Kriteria Khusus untuk Memilih Calon Suami

Khusus bagi seorang muslimah yang hendak menentukan calon pendamping, ada satu kriteria yang penting untuk diperhatikan. Yaitu calon suami mempunyai kemampuan untuk memberi nafkah. Karena memberi nafkah merupakan kewajiban seorang suami. Islam telah mengakibatkan perilaku menyia-nyiakan hak istri, belum dewasa serta kedua orang renta dalam nafkah termasuk dalam kategori dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كفى بالمرء إثما أن يضيع من يقوت

“Cukuplah seseorang itu berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud. Al Hakim berkata bahwa sanad hadits ini shahih).

Oleh lantaran itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membolehkan bahkan menganjurkan menimbang faktor kemampuan memberi nafkah dalam menentukan suami. Seperti cerita pelamaran Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha:

عن فاطمة بنت قيس رضي الله عنها قالت‏:‏ أتيت النبي صلى الله عليه وسلم، فقلت‏:‏ إن أبا الجهم ومعاوية خطباني‏؟‏ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم‏:‏‏”‏أما معاوية، فصعلوك لا مال له ، وأما أبوالجهم، فلا يضع العصا عن عاتقه‏

“Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, ia berkata: ‘Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian saya berkata, “Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Adapun Mu’awiyah ialah orang fakir, ia tidak mempunyai harta. Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya”.” (HR. Bukhari-Muslim)

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merekomendasikan Muawiyah radhiyallahu ‘anhu lantaran miskin. Maka ini menawarkan bahwa dilema kemampuan memberi nafkah perlu diperhatikan.

Namun kebutuhan akan nafkah ini jangan hingga dijadikan kriteria dan tujuan utama. Jika sang calon suami sanggup memberi nafkah yang sanggup menegakkan tulang punggungnya dan keluarganya kelak itu sudah mencukupi. Karena Allah dan Rasul-Nya mengajarkan budpekerti zuhud (sederhana) dan qana’ah (menyukuri apa yang dikarunai Allah) serta mencela penghamba dan pengumpul harta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تعس عبد الدينار، والدرهم، والقطيفة، والخميصة، إن أعطي رضي، وإن لم يعط لم يرض

“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamishah dan celakalah hamba khamilah. Jika diberi ia senang, tetapi bila tidak diberi ia marah.” (HR. Bukhari).

Selain itu, bukan juga berarti calon suami harus kaya raya. Karena Allah pun menjanjikan kepada para lelaki yang miskin yang ingin menjaga kehormatannya dengan menikah untuk diberi rizki.

وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kalian. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An Nur: 32)

Kriteria Khusus untuk Memilih Istri

Salah satu bukti bahwa perempuan mempunyai kedudukan yang mulia dalam Islam ialah bahwa terdapat usulan untuk menentukan calon istri dengan lebih selektif. Yaitu dengan adanya beberapa kriteria khusus untuk menentukan calon istri. Di antara kriteria tersebut adalah:

1. Bersedia taat kepada suami
Seorang suami ialah pemimpin dalam rumah tangga. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء

“Kaum pria ialah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS. An Nisa: 34)

Sudah sepatutnya seorang pemimpin untuk ditaati. Ketika ketaatan ditinggalkan maka hancurlah ‘organisasi’ rumah tangga yang dijalankan. Oleh lantaran itulah, Allah dan Rasul-Nya dalam banyak dalil memerintahkan seorang istri untuk taat kepada suaminya, kecuali dalam kasus yang diharamkan. Meninggalkan ketaatan kepada suami merupakan dosa besar, sebaliknya ketaatan kepadanya diganjar dengan pahala yang sangat besar.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ

“Apabila seorang perempuan mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk nirwana dari pintu mana saja yang ia inginkan.” (HR. Ibnu Hibban. Dishahihkan oleh Al Albani)

Maka seorang muslim hendaknya menentukan perempuan calon pasangan hidupnya yang telah menyadari akan kewajiban ini.

2. Menjaga auratnya dan tidak memamerkan kecantikannya kecuali kepada suaminya
Berbusana muslimah yang benar dan syar’i ialah kewajiban setiap muslimah. Seorang muslimah yang shalihah tentunya tidak akan melanggar ketentuan ini. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً

“Wahai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, belum dewasa perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh badan mereka.'” (QS. Al Ahzab: 59)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengabarkan dua kaum yang kepedihan siksaannya belum pernah dia lihat, salah satunya ialah perempuan yang memamerkan auratnya dan tidak berbusana yang syar’i. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نساء كاسيات عاريات مميلات مائلات رؤسهن كأسنة البخت المائلة لا يدخلن الجنة ولا يجدن ريحها وإن ريحها ليوجد من مسيرة كذا وكذا

“Wanita yang berpakaian namun (pada hakikatnya) telanjang yang berjalan melenggang, kepala mereka bergoyang kolam punuk unta. Mereka tidak akan masuk nirwana dan bahkan mencium wanginya pun tidak. Padahal wanginya nirwana sanggup tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim)

Berdasarkan dalil-dalil yang ada, para ulama merumuskan syarat-syarat busana muslimah yang syar’i di antaranya: menutup aurat dengan sempurna, tidak ketat, tidak transparan, bukan untuk memamerkan kecantikan di depan lelaki non-mahram, tidak menggandakan ciri khas busana non-muslim, tidak menggandakan ciri khas busana laki-laki, dll.

Maka pilihlah calon istri yang menyadari dan memahami hal ini, yaitu para muslimah yang berbusana muslimah yang syar’i.

3. Gadis lebih diutamakan dari janda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan semoga menikahi perempuan yang masih gadis. Karena secara umum perempuan yang masih gadis mempunyai kelebihan dalam hal kemesraan dan dalam hal pemenuhan kebutuhan biologis. Sehingga sejalan dengan salah satu tujuan menikah, yaitu menjaga dari penyaluran syahawat kepada yang haram. Wanita yang masih gadis juga biasanya lebih tulus bila sang suami berpenghasilan sedikit. Hal ini semua sanggup menambah kebahagiaan dalam pernikahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عليكم بالأبكار ، فإنهن أعذب أفواها و أنتق أرحاما و أرضى باليسير

“Menikahlah dengan gadis, alasannya lisan mereka lebih jernih, rahimnya lebih cepat hamil, dan lebih rela pada pinjaman yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Al Albani)

Namun tidak mengapa menikah dengan seorang janda bila melihat maslahat yang besar. Seperti  teman Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu yang menikah dengan janda lantaran ia mempunyai 8 orang adik yang masih kecil sehingga membutuhkan istri yang berakal merawat anak kecil, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyetujuinya (HR. Bukhari-Muslim)

4. Nasab-nya baik
Dianjurkan kepada seseorang yang hendak meminang seorang perempuan untuk mencari tahu wacana nasab (silsilah keturunan)-nya.

Alasan pertama, keluarga mempunyai tugas besar dalam menghipnotis ilmu, budpekerti dan keimanan seseorang. Seorang perempuan yang tumbuh dalam keluarga yang baik lagi Islami biasanya menjadi seorang perempuan yang shalihah.

Alasan kedua, di masyarakat kita yang masih awam terdapat permasalahan pelik berkaitan dengan status anak zina. Mereka menganggap bahwa bila dua orang berzina, cukup dengan menikahkan keduanya maka selesailah permasalahan. Padahal tidak demikian. Karena dalam ketentuan Islam, anak yang dilahirkan dari hasil zina tidak di-nasab-kan kepada si lelaki pezina, namun di-nasab-kan kepada ibunya. Berdasarkan hadits,

الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ

“Anak yang lahir ialah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum.” (HR. Bukhari)

Dalam hadits yang mulia ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menetapkan anak tersebut di-nasab-kan kepada orang yang berstatus suami dari si wanita. Me-nasab-kan anak zina tersebut kepada lelaki pezina menyelisihi tuntutan hadits ini.

Konsekuensinya, anak yang lahir dari hasil zina, apabila ia perempuan maka suami dari ibunya tidak boleh menjadi wali dalam pernikahannya. Jika ia menjadi wali maka pernikahannya tidak sah, bila kesepakatan nikah tidak sah kemudian bekerjasama intim, maka sama dengan perzinaan. Iyyadzan billah, kita berlindung kepada Allah dari insiden ini.

Oleh lantaran itulah, seorang lelaki yang hendak meminang perempuan terkadang perlu untuk mengecek nasab dari calon pasangan.

Demikian beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan oleh seorang muslim yang hendak menapaki tangga pernikahan. Nasehat kami, selain melaksanakan perjuangan untuk menentukan pasangan, jangan lupa bahwa hasil selesai dari segala perjuangan ada di tangan Allah ‘Azza Wa Jalla. Maka sepatutnya jangan meninggalkan doa kepada Allah Ta’ala semoga dipilihkan calon pasangan yang baik. Salah satu doa yang bisa dilakukan ialah dengan melaksanakan shalat Istikharah. Sebagaimana hadits dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

إذا هم أحدكم بأمر فليصلِّ ركعتين ثم ليقل : ” اللهم إني أستخيرك بعلمك…”

“Jika kalian merasa gelisah terhadap suatu perkara, maka shalatlah dua raka’at kemudian berdoalah: ‘Ya Allah, saya beristikharah kepadamu dengan ilmu-Mu’… (dst)” (HR. Bukhari)

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shaalihat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.

Maraji’:
  1. Al Wajiz Fil Fiqhi As Sunnah Wal Kitab Al Aziz Bab An Nikah, Syaikh Abdul Azhim Badawi Al Khalafi, Cetakan ke-3 tahun 2001M, Dar Ibnu Rajab, Mesir
  2. Panduan Lengkap Nikah dari A hingga Z, terjemahan dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif ilal Ya, Usamah Bin Kamal bin Abdir Razzaq, Cetakan ke-7 tahun 2007, Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
  3. Bekal-Bekal Menuju Pelaminan Mengikuti Sunnah, terjemahan dari kitab Al Insyirah Fi Adabin Nikah, Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini, Cetakan ke-4 tahun 2002, Pustaka At Tibyan, Solo
  4. Manhajus Salikin Wa Taudhihul Fiqhi fid Diin, Syaikh Abdurrahman Bin Nashir As Sa’di, Cetakan pertama tahun 1421H, Darul Wathan, Riyadh
  5. Az Zawaj (e-book), Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin, http://attasmeem.com
  6. Artikel “Status Anak Zina“, Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. , http://ustadzkholid.com/fiqih/status-anak-zina/



Penulis: Yulian Purnama
Muroja’ah: Ustadz Kholid Syamhudi. Lc.
Artikel www.muslim.or.id
Sumber https://iberdakwah.blogspot.com/

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel